Liputan6.com, Jakarta Aktivis penyandang disabilitas mengecam kurangnya keterwakilan pada mereka yang terdampak perubahan iklim.
Meskipun 15% dari populasi dunia hidup dengan beberapa bentuk disabilitas, penelitian tentang efek perubahan iklim pada komunitas penyandang disabilitas masih muncul.
Advertisement
Baca Juga
Dilansir dari ABCNews, menurut para pendukung dan aktivis, bencana alam akibat perubahan iklim, seperti gelombang panas dan kebakaran hutan mempengaruhi penyandang disabilitas secara tidak proporsional. Efek perubahan iklim seperti berkurangnya mobilitas, ketidakmampuan untuk mengatur suhu tubuh dan masalah pernapasan merupakan contoh kecil efek berbahaya dari perubahan iklim yang dihadapi oleh penyandang disabilitas.
Oleh sebab itu, sebelum menjadi semakin parah, para aktivis menyuarakan keprihatinan mereka dalam situasi ini.
Sementara para advokat mengklaim era digital telah memberikan lebih banyak suara bagi aktivis perubahan iklim penyandang disabilitas, mereka mengatakan pandemi, yang telah memaksa masyarakat untuk menjalani kehidupan lebih online, telah menciptakan lebih banyak peluang bagi para penyandang disabilitas; tidak hanya dengan bekerja dari rumah, tetapi juga untuk berpartisipasi dalam aktivisme.
Sekarang, para aktivis ini semakin menuntut hak mereka dengan memperjuangkan inklusi meskipun saat perubahan iklim.
Namun, menurut Gregor Wolbring, seorang profesor di University of Calgary’s Cumming School of Medicine dan sarjana studi kemampuan dan disabilitas, masih ada kurangnya visibilitas dan literasi tentang pengalaman individu penyandang disabilitas.
"Anda harus menemukan cara agar orang-orang lebih terpapar pada penyandang disabilitas secara umum," kata Wolbring.
Â
keterbatasan finansial
Berdasarkan penelitian yang baru saja diterbitkan, dengan metode analisis lebih dari 5.500 literatur aksi lingkungan dan perubahan iklim, Wolbring dan rekannya Chiara Salvatore menemukan bahwa tidak satu pun dari studi ini berfokus pada pemuda penyandang disabilitas sebagai aktivis lingkungan, dan tidak ada aktivisme pemuda penyandang disabilitas yang berurusan dengan dampak lingkungan. Dan tidak hanya ini saja yang mendorong para aktivis ini menjadi lebih vokal.
Beberapa aktivis mengatakan bahwa hanya menghadiri COP26 atau kongregasi semacam itu bukan pilihan karena disabilitas dan keterbatasan finansial mereka.
Elleonora Ali Uddman, seorang mahasiswa Swedia berusia 17 tahun dan aktivis hak disabilitas dan iklim dengan Sindrom Ehlers Danlos, gangguan jaringan ikat, mengatakan ia termasuk di antara mereka yang tidak bisa hadir.
Uddman, yang mulai mogok untuk mendukung aksi perubahan iklim pada 2019, mengatakan, bagaimanapun, ia telah memperhatikan bahwa aktivisme lingkungan mulai menjadi lebih inklusif sejak pandemi COVID-19.
"Segalanya menjadi jauh lebih mudah secara online. Saya tidak perlu khawatir tentang bepergian, saya tidak perlu khawatir apakah saya akan kesakitan atau tidak karena saya akan berada dalam kenyamanan rumah saya sendiri di mana saya memiliki segalanya. barang-barang saya," kata Uddman.
Benny Frohna, dua puluh tahun dari Los Angeles, yang neurodivergen, berbicara tentang perasaan lelah dan tidak terdengar di ruang aksi iklim.
"Saya melakukan apa yang saya lakukan. Dan kemudian saya melihat ke seberang lorong, dan saya melihat orang-orang yang berbadan sehat dan berpikiran sehat, orang-orang neurotipikal mendapatkan lebih banyak dari apa yang kami berdua lakukan, apa yang kami bagikan daripada yang pernah saya dapat," ujar Frohna.
"Begitulah cara saya menjadi advokat akhir-akhir ini. Dan saya tidak tahu, seperti, seberapa mudah akses itu. Tapi saya tahu bahwa itu lebih mudah bagi saya daripada berada di tengah kerumunan orang di jalan dengan suhu 90 derajat."
Â
Advertisement
Bagaimana membawa perubahan
Untuk memberi ruang bagi aktivis iklim penyandang disabilitas yang menghadapi beban konsekuensi negatif perubahan iklim, Wolbring mengatakan bahwa perubahan harus dimulai dengan meningkatkan literasi tentang pengalaman penyandang disabilitas.
Wolbring mengatakan bahwa kebanyakan orang, termasuk muridnya sendiri, tidak melihat orang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Para aktivis juga menyoroti pentingnya representasi dan disediakan platform untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
"Sangat jarang mendengat tentang disabilitas dan krisi iklim yang saling terhubung. Bahkan biasanya kami tidak dimasukkan dalam statistik sebagai penyandang disabilitas," kata Uddman.
Mya Pol, pembuat konten dan pelajar berusia 20 tahun dari Amherst, Massachusetts, menjalankan akun TikTok tempat ia mengadvokasi hak-hak disabilitas dan menggunakan platformnya untuk mendidik orang tentang lingkungan.
"Anda tidak dapat membuat perubahan maupun perbaikan jika Anda tidak tahu bahwa ada sesuatu yang yang dikerjakan," kata Pol.
Infografis Waspada Cuaca Ekstrem di Indonesia
Advertisement