Liputan6.com, Tokyo - Gelar Miss Japan 2015 disematkan pada Ariana Miyamoto. Ia akan segera mewakili negaranya dalam ajang ratu kecantikan sejagat: Miss Universe.
Namun, kemenangannya digugat banyak orang. Tak pernah ajang ratu-ratuan di Negeri Sakura sekontroversial tahun ini.
Gadis yang lahir di Sasebo, Nagasaki, pada 12 Mei 1994 itu pun menjadi sasaran kritik hingga kekerasan verbal. Semua itu, gara-gara warna kulitnya. Ia tak seperti wanita Jepang pada umumnya yang memiliki kulit putih gading.
"Pada pandangan pertama, aku dibuat bingung oleh Ariana Miyamoto. Ia tinggi dan cantik. Namun, hal pertama yang terlintas di kepalaku saat bertemu Miss Japan itu adalah, ia tak 'terlihat Jepang'," tulis koresponden BBC di Tokyo, Rupert Wingfield-Hayes.
Namun, keraguan sang jurnalis sirna saat Ariana bersuara. "Yang menegaskan bahwa ia adalah orang Jepang, dari lagu bicaranya, caranya menggerakan tangan, dan ekspresinya yang sopan."
Hampir seluruh hidupnya, Ariana tinggal di Jepang. Ibunya asli dari Negeri Sakura, sementara sang ayah, Bryant Stanfield, warga Amerika Serikat keturunan Afrika -- seorang tentara AS yang ditugaskan ke pangkalan udara Angkatan Laut di Sasebo.
"Namun, bagi banyak orang di sini, Ariana Miyamoto bukan orang Jepang. Setidaknya tak sepenuhnya Jepang."
Sosok seperti Ariana di Jepang dikenal sebagai 'hafu' -- yang diambil dari Bahasa Inggris 'half'. "Bagi saya, kata itu adalah penghinaan. Namun, saat saya bertanya pada dia, jawaban Ariana sungguh mengejutkan, ia tak keberatan dengan istilah itu.
"Jika tak ada istilah 'hafu', justru sangat sulit untuk mendeskripsikan siapa saya, bagaimana posisi saya di Jepang," kata dia.
"Kalau saya berkata, 'aku adalah orang Jepang (Japanese), maka orang-orang akan berkata, 'tidak'. Tak ada yang mempercayai itu. Tapi jika saya menyebut diri sebagai 'hafu' mereka akan menerimanya," kata dia.
Apalagi, gadis manis itu menambahkan, tak ada istilah seperti hafu di luar Negeri Sakura. "Tapi, saya pikir, itu dibutuhkan di sini. Agar kami, anak hasil perkawinan campuran, bisa hidup di Jepang. Itu sangat diperlukan dan saya sangat menghargainya."
Di Jepang, kemenangannya disambut biasa, sama sekali tak disambut antusias. Media di Negeri Sakura juga tak ramai memberitakannya. "Saya merasa lebih mendapat perhatian dari luar Jepang," kata gadis 21 tahun itu.
Sementara di media sosial, tanggapan netizen atas kemenangannya beragam. Ada yang gembira dan mendukung, lainnya tak senang bahkan mengambil sikap bermusuhan.Â
"Apakah oke memilih seorang hafu menjadi Miss Japan," kata seseorang di twitter. "Aku tak nyaman memikirkan dia akan mewakili Jepang," tulis lainnya.
Percampuran ras mungkin biasa di sejumlah negara, misalnya Amerika Serikat maupun Inggris. Namun, di Jepang, hal tersebut masih luar biasa. Hanya sekitar 1 persen dari populasi di sana adalah imigran, kebanyakan dari Korea dan China.
Tumbuh besar di sebuah kota kecil di Jepang Barat, Ariana pernah mengalami pengalaman traumatis. Sahabat lelakinya di sekolah bunuh diri, salah satunya karena tak tahan diperlakukan sebagai 'orang lain'. "Kami kerap berbincang tentang betapa beratnya menjadi seorang hafu," kata dia. "Sahabatku ingin curhat tentang mengapa kita dikucilkan dari yang lain, 3 hari sebelum kematiannya."
Ariana menceritakan, sahabatnya itu merasa hidup terlampau sulit baginya. "Ia tak bisa bicara Bahasa Inggris. Orang-orang tak habis pikir mengapa demikian karena penampilannya. Dia terlihat asing bagi mereka."
Kemengan Ariana mungkin adalah pertanda baik, bahwa Jepang mulai berubah. Dan itu yang ia idam-idamkan.Â
Advertisement
"Menurut saya, orang Jepang suka melabeli (stereotip) seseorang. Dan itu harus diubah," kata perempuan dengan tinggi badan 173Â cm itu.
"Akan lebih sering terjadi pernikahan campur, dan makin banyak anak-anak campuran di masa depan. Jadi, saya yakin, kita harus mengubah cara pandang demi masa depan mereka."
Faktanya, Ariana Miyamoto adalah bagian dari tren yang makin berkembang di Jepang. 1 dari 50 bayi yang lahir di sana kini birasial atau sekitar 20.000 jiwa baru per tahun. (Ein/Sun)