Buku Mewarnai Dewasa, Betulkah Bisa Atasi Stres?

Buku mewarnai untuk orang dewasa kini mulai merebak penjualannya, yang dianggap bisa menjadi cara menanggulangi stres. Betulkah?

oleh Indy Keningar diperbarui 17 Nov 2015, 18:00 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2015, 18:00 WIB
Buku Mewarnai Dewasa, Betulkah bisa Menanggulangi Stres?
Buku mewarnai untuk orang dewasa kini mulai merebak penjualannya, yang dianggap bisa menjadi cara menanggulangi stres. Betulkah?

Liputan6.com, Washington - Sejak tahun lalu, buku mewarnai untuk orang dewasa sudah menjadi tren. Kegiatan mewarnai gambar seperti yang kita lakukan semasa kecil, dipercaya dapat menanggulangi rasa stres.

Debra Dettone (52), guru TK di Harrison, Ohio, mengaku mengalami kecemasan terhadap pekerjaannya, yang berpengaruh pada tekanan darah yang meningkat. Ia pun mendapat peringatan dari dokternya. Namun tak lama, Dettone mengaku berhasil menanggulangi perasaan cemasnya itu. Saat ditanya rahasianya, ia menjawab 'mewarnai gambar'.

"Saya melakukan itu untuk bersantai di malam hari," ungkap Dettone. "Saya duduk selama kurang lebih satu jam, dan mewarnai kartu, mandala atau yang lainnya. Itu membantu membuat saya bersantai, sehingga saya bisa tidur dan mempersiapkan diri untuk esok hari," ia menambahkan.

Dalam promosi buku mewarnai, disebutkan bahwa buku ini membantu orang dewasa mengurangi stres dan mengekspresikan diri. Mewarnai terbukti membantu mencapai kehati-hatian, menghilangkan kecemasan, bahkan menangani trauma. Beberapa buku bahkan langsung dianggap sebagai 'terapi seni'.

Namun, bukan berarti semua orang bisa menggunakannya dengan tepat. Diperlukan metode tertentu dalam memperlakukan buku mewarnai sebagai pengalihan dari rasa stres, sehingga metode ini belum tentu cocok untuk semua orang.

Mewarnai sering dipercaya menjadi penanggulangan stres dan kecemasan. (foto: The Plaid Zebra)

Cathy Malchiodi, seorang terapis seni, mengungkapkan kepada The Guardian mengenai buku mewarnai dewasa, dikutip Selasa (17/11/2015), "Beberapa orang yakin bahwa buku mewarnai merupakan jalan menuju kedamaian dalam pikiran, cara baru meditasi, dan sejenis nirwana psikologis. Saya menemukan sebagian besar pendukung datang dari pencipta buku mewarnai itu sendiri."

Namun, menurut Malchiodi, ia menganggap tren tersebut mengecewakan. "Tahun ini, ada beberapa penelitian yang mendukung mengenai mengapa orang-orang perlu mengikuti aktivitas kreatif, yang tidak meliputi kegiatan mewarnai desain orang lain," ungkapnya, mengutip studi dari Mayo Clinic yang dirilis musim semi tahun 2015.

"Kegiatan itu meliputi penciptaan karya seni buatan sendiri. Kegiatan itu bisa membantu kesehatan mental dan fisik orang-orang," katanya.

Dalam kata lain, mewarnai tidak serta-merta bisa menjadi metode meditasi atau terapi.

Buku mewarnai bersifat terapetik, namun tidak serta-merta bisa menjadi alat terapi. (foto: The Plaid Zebra)

Menurut Shannon Bennett, asisten dosen psikologi di psikiatri New York’s Weill Cornell Medical College, mewarnai bukan sesuatu yang cocok bagi dirinya.

Donna Betts, ketua dewan American Art Therapy Association dan asisten dosen di George Washington University, menyetujuinya. Ia menambahkan bahwa dirinya tidak menggunakan buku mewarnai dalam sesi terapi, dan tidak menganjurkannya. Menurutnya ada perbedaan antara mewarnai dan menciptakan karya sungguhan.

"Ini seperti perbedaan antara mendengarkan musik dan belajar bermain alat musik," ungkapnya. "Mendengarkan musik merupakan sesuatu yang mudah, semua orang bisa melakukannya, namun memainkannya membutuhkan keterampilan khusus yang harus dipelajari," ia menjelaskan.

Drena Fagen, terapis seni dan instruktur tambahan di Steinhardt School, New York University, memiliki pandangan yang lebih positif, dan penggunaannya dalam sesi terapi. Namun, ia tetap mengungkapkan perbedaan antara buku mewarnai dan terapi.

"Saya tidak menganggap buku mewarnai sebagai terapi seni. Saya menganggapnya bersifat terapetik (menenangkan), keduanya bukan hal yang sama," katanya.

Menurut Fagen, sebuah aktivitas bisa memiliki efek atau pikiran, bisa juga tidak, tergantung dari pendekatan seseorang.

"Usaha kreatif apa pun yang bisa membantu menemukan sesuatu tentang diri mereka-- menemukan tempat yang membuat mereka aman dan nyaman, atau memberi mereka kesempatan bersama pikiran mereka, saya rasa hal itu tidak perlu dikritik, karena tidak merugikan."

Bennett setuju dengan Fagen, mengatakan bahwa walaupun tidak ada dukungan riset spesifik untuk mewarnai sebagai perawatan, mewarnai bisa menjadi bagian rencana yang lebih besar untuk menangani perasaan tidak nyaman. Orang-orang yang suka mewarnai bisa menganggapnya kegiatan yang santai, meredakan stres, atau semuanya.

Paula Meng (52) dari St Petersburg, Florida, menjelaskan bahwa mewarnai selama beberapa jam per hari bisa meredakan depresi, kecemasan, dan sakit punggung yang dialaminya.

Mewarnai merupakan kegiatan kreatif. (foto: The Plaid Zebra)

"Itu membantu saya," ungkapnya. "Pikiran Anda bebas dari apa pun pada saat melakukan kegiatan itu," ujarnya.

"Jika Anda bertanya pada orang yang mewarnai, mereka akan memberitahu bahwa kegiatan itu terapetik," ungkap Cari Schofield (38), dari Stockbridge, Georgia. Schofield mulai menekuni mewarnai selama tiga bulan.

Ia merasa terganggu dengan kritik yang menganggap bahwa mewarnai tidak memicu kreativitas. Ia pengidap epilepsi, dan menyatakan walau ia suka menggambar dan melukis. "Namun epilepsi saya sudah ada pada tingkat ketika kapan pun saya mencoba untuk fokus, tangan saya akan tersentak," ia menjelaskan.

Karena mewarnai juga, ia kembali pada kegiatan seni. Ia menggunakan buku-buku dari Johanna Basford, yang memiliki titik-titik kosong di mana pengarang menganjurkan orang-orang menambahkan elemen mereka sendiri pada halaman mewarnai.

"Saya baru membuat gambar jamur dengan gambar peri kecil di dalamnya. Aku memerlukan waktu karena tangan saya tersentak-sentak, namun hasilnya bagus. Saya bangga dengan hasilnya," kata Schofield. (Ikr/Rcy)*

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya