'Pyonghattan', Kawasan Elite Khusus Orang Tajir di Korut

Di sebuah negeri yang menutup diri dari pergaulan global, mereka tampil mengenakan busana label dunia.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Mei 2016, 18:39 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2016, 18:39 WIB
Seorang perempuan Korut kenakan busana cukup mencolok
Seorang perempuan Korut kenakan busana cukup mencolok (The Washington Post)

Liputan6.com, Pyongyang - Di sebuah negeri yang menutup diri dari pergaulan global, mereka tampil mengenakan busana label dunia seperti Zara dan H&M. Mereka melakukan olahraga untuk membentuk tubuh demi menjaga penampilan, menyeruput cappucino untuk menunjukkan betapa kosmopolitannya mereka.

Bahkan beberapa kaum hawa Korut memasang bulu mata palsu untuk membuat diri mereka tampil layaknya artis Barat. 

 

Golongan yang dilaporkan memiliki populasi 1 % itu menghuni "Pyonghattan" -- sebuah kawasan di Korea Utara (Korut) yang dijuluki mirip Manhattan karena dihuni oleh kaum elite negara itu.

"Di Korut, kami harus mengenakan pakaian konservatif, jadi banyak orang yang pergi ke gym hanya untuk memamerkan tubuh mereka, bahkan kulit mereka," ujar salah seorang perempuan yang juga menjalankan gaya hidup mewah, Lee Seo-hyeon (24 thn) seperti dikutip The Washington Post, Selasa (17/5/2016).

Perkembangan fashion tersebut hanya sebagian kecil dari fakta-fakta yang terungkap di balik kehidupan masyarakat Korut. Lantas, seperti apa gambaran selengkapnya?

Fashion Korut yang Makin Modern

Istri Kim Jong-un Membawa Transformasi Bagi Dunia Mode Korut?

Tampilan modis seorang wanita Korut (The Washington Post)

Lee menceritakan bagaimana kalangan elite muda Korut yang pergi ke China membekali diri mereka dengan sejumlah 'daftar barang belanjaan', khususnya pakaian olahraga. Para perempuan muda Korut lebih memilih menggunakan legging dan atasan yang ketat -- Elle adalah merek yang cukup populer di sana. Sementara kaum pria lebih memilih sejumlah merek sporty seperti Adidas dan Nike.

'Fashion show' ala Korut -- di mana kaum muda wara-wiri dengan mengenakan sejumlah barang bermerek pun dapat disaksikan di sebuah tempat main bowling di tengah Kota Pyongyang. Beberapa dari mereka berolahraga menggunakan treadmill yang menampilkan kartun Disney di layar monitor. Sejumlah lainnya memilih melakukan Yoga.

"Itu sebuah tempat yang keren. Ketika kamu berada disana kamu merasa seperti kamu bisa berada di mana saja di dunia," ujar seorang warga Inggris, Andray Abrahamian, yang membantu menjalankan program pertukaran yang menyediakan pelatihan keuangan bagi Korut.

Abrahamian mengatakan, belum lama ini ia bermain squash di salah satu pusat olahraga. Ia mengakui betapa berkelasnya tempat itu, "Itu tidak murah. Dipungut beberapa dolar untuk satu kelas. Tempat itu jelas untuk orang-orang berpenghasilan tinggi," ujarnya.

Semakin 'terbuka'nya dunia mode Korut bukan tidak mungkin karena terinspirasi oleh istri dari pemimpin tertinggi negara itu, Ri Sol-ju yang dalam beberapa penampilan publiknya terlihat modis dengan pemilihan warna yang cerah dan trendi.

Lee Seo-hyeon dan kakaknya Lee Hyeon-seung merupakan kalangan elite yang menikmati perkembangan mode di Korut. Ayah mereka adalah seorang pejabat tinggi Korut yang berkantor di China -- ini membuat keduanya masuk ke universitas di Tiongkok. Kakak adik itu pun kerap bolak-balik ke Pyongyang.

Dijelaskan Lee Seo-hyeon, kehidupan remaja elite di Pyongyang masih cukup modern. Sebelum munculnya demam K-Pop mereka masih menikmati musik pop yang disuguhkan Britney Spears dan Backstreet Boys. Tubuh mereka pun dibalut sejumlah merek mendunia seperti Uniqlo, Zara dan H&M.

"Semua teman-teman saya yang tinggal di luar negeri (di luar Korut) akan membawa barang-barang bermerek," jelas Seo-hyeon.

Namun kendati modern tetap ada batasan. Pakaian tanpa lengan dan rok mini dilarang di Korut.

"Jika pakaian Anda terlalu ekstrem atau sangat bertentangan dengan gaya busana Korut, polisi akan menangkap Anda dan mengumumkan identitas Anda melalui radio," imbuhnya.

Demam operasi plastik yang terjadi di Korsel juga melanda Korut dan itu tidak dilarang. Kebanyakan orang memilih untuk melakukan operasi terhadap kelopak mata mereka -- membuatnya jauh lebih besar seperti layaknya orang Barat.

"Anda bisa mendapatkan visa untuk alasan medis, namun operasi plastik tidak termasuk," tutur Lee Seo-hyeon yang pada tahun 2014 lalu bersama ayah, ibu, dan kakaknya membelot ke Korsel.

Saat ini keluarga itu berada di Virginia Utara, Amerika Serikat dan kakak adik itu berharap dapat diterima di salah satu universitas setempat.

Kuliner dan Pembangunan Taman di Korut

Perubahan Mulai Terjadi di Korut?

Suasana di sebuah restoran piza di Mirae Scientists Street (The Washington Post)

Korea Utara dikenal terbelakang secara ekonomi -- industri negara itu kolaps. Gaji resmi di Pyongyang bahkan jauh di bawah US$ 10 atau setara dengan di bawah Rp 132 ribu per bulan. Namun meningkatnya kelas pedagang telah melahirkan banyak orang kaya baru di negeri itu.

Donju -- sebutan bagi golongan kelas menengah yang kaya di Korut selama 15 tahun terakhir telah menjadi target pasar, namun momentum kebangkitan mereka terjadi  di bawah kepemimpinan Kim Jong-un. Kaum ini umumnya memegang sejumlah posisi resmi di pemerintahan -- baik di kementerian atau militer, mereka juga menjalankan bisnis di luar negeri atau menarik investasi ke dalam negeri.  

"Kim Jong-un sangat pro pasar. Kebijakannya pada dasarnya adalah menguntungkan segelintir orang. Sejumlah kapitalis Korut yang saya temui mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapat pengalaman seperti ini sebelumnya," ujar seorang Sejarawan Rusia Andrei Lankov yang sempat belajar di Korut.

Melalui sejumlah kebijakan pembangunan yang ia lakukan, Kim Jong-un seolah seperti menunjukkan prioritasnya -- meningkatkan taraf hidup warga Korut. Putra Kim Jong-il itu diketahui telah memerintahkan pembangunan sebuah taman hiburan, water park, taman seluncuran, sebuah akuarium lumba-lumba dan bahkan sebuah resort ski.

Di sekitar Kota Pyongyang perubahan juga mulai terjadi -- dimana anak-anak muda memenuhi lapangan voli dan lapangan tenis. Dalam sebuah perjalanan ke Korut yang terjadi tiga bulan lalu, tiga jurnalis Washington Post mendatangi sebuah restoran bertema Jerman di dekat Juche Tower.

Tempat makan itu menyajikan menu premium seperti steak dengan kentang panggang seharga US$ 48 atau setara dengan Rp 637 ribu. Menu lainnya seperti Wiener schnitzel masih cukup terjangkau, yakni seharga US$ 7 atau sekitar Rp 92.260.

Kebanyakan warga Korut akan memilih makanan lokal seperti bibimbap seharga US$7 dolar -- ini masih sangat mahal dibandingkan dengan harga makanan serupa di Korea Selatan.

Bila mendengar orang asing maka warga lokal memutuskan untuk menarik tirai bambu di depan meja mereka. Namun di 'Pyonghattan', suasana sedikit berbeda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya