Liputan6.com, Jakarta - Topik kiamat menjadi sumber kekhawatiran juga rasa penasaran manusia. Zombie, tubrukan batu angkasa raksasa, jilatan badai matahari, kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang merajalela, perang nuklir, tabrakan Bumi dengan 'Planet Nibiru', alien -- itu hanya sebagian kecil dari prediksi akhir zaman yang menyandera imaji kita. Meski sebagian besar fiksi belaka.
Namun, banyak tak sadar, manusia telah lolos dari dari sejumlah 'skenario kiamat', bukan hanya satu, namun hingga 10.
Hal itu membuktikan betapa rentannya hidup kita. Sekaligus membuktikan, tanpa ketangguhan dan
keuletan, manusia sejatinya bukan apa-apa.
Berikut 10 malapetaka yang bagaikan kiamat bagi mereka yang mengalaminya seperti dikutip dari Listverse.com, Selasa (14/6/16):
1. Dust Bowl
Di tengah Depresi Besar (Great Depression) atau zaman malaise, ketika perekonomian menurun secara dramatis di seluruh dunia pada tahun 1930-an, terjadi kekeringan parah yang melanda Texas, Colorado, Nebraska, dan Oklahoma.
Kombinasi over-farming, ketergantungan pada sejumlah kecil tanaman, dan kurangnya curah hujan di Great Plains memicu Dust Bowl -- ketika lapisan luar tanah berubah menjadi debu dalam jumlah masif dan tersapu oleh angin kencang ke arah timur.
Akibatnya sungguh parah. Langit yang menaungi kawasan tersebut hingga Atlantik gelap. Udara terasa menyesakkan dada, panen gagal, jutaan orang pun terpaksa mengungsi.
Pada 14 April 1935, badai debu sedemikian masif sehingga menghalangi cahaya matahari di beberapa negara bagian, termasuk Washington DC.
Kapal-kapal yang mengarungi Samudera Atlantik melaporkan, debu-debu menjatuhi dek mereka.
Ironisnya, kala badai terjadi, anggota kabinet Presiden Franklin Roosevelt sedang bersaksi di depan Kongres tentang pentingnya konservasi tanah.
Ia kemudian menunjuk ke luar jendela, ke arah kepulan debu. "Tuan-tuan yang terhormat, itu yang saya maksudkan," kata dia.
Segala upaya dilakukan, konservasi tanah dan turunnya hujan akhirnya mengembalikan situasi yang mengerikan -- yang dianggap sejumlah orang sebagai gambaran akhir zaman -- kembali normal pada 1939.
2. Invasi dan Penaklukan Bangsa Mongolia
Kejam dan tanpa ampun, itu gambaran tentara Bangsa Mongolia yang menaklukkan Asia dan Eropa dengan kedigdayaan serupa kekuatan alam.
Selama Abad ke-13, Genghis Khan memanfaatkan banyak suku dan klan di Asia tengah, mengubahnya menjadi mesin perang yang efektif dan mematikan -- untuk menaklukkan China, Timur Tengah, Rusia, dan sebagian dari Eropa.
Advertisement
Bahwa tentara Mongol membunuh banyak orang, itu tidak disangsikan lagi, namun jumlahnya hingga saat ini belum bisa dipastikan.
Sementara kita tak tahu persis berapa banyak yang tewas saat tentara Mongol menyapu Eurasia, petunjuk didapatkan dari jumlah karbon di atmosfer.
Studi Carnegie Institution for Science's Department of Global Energy menyebutkan, invasi yang dilakukan atas perintah pemimpin Mongolia, Genghis Khan membantu menghapus hampir 700 juta ton karbon dari atmosfer.
Kabar baik? Ya bagi alam, tapi tidak untuk kemanusiaan.
Tentara Mongolia diduga membunuh setidaknya 40 juta manusia -- yang membuat tanah lebar yang dibudidayakan atau ditinggali penduduk masa itu kembali ditumbuhi pepohonan, menjadi hutan lebat yang menyerap karbon dioksida dari atmosfer.
Meski dikenal dengan reputasi sebagai penakluk, Kekaisaran Mongolia akhirnya kehilangan momentum untuk menguasai dunia dan terpecah.
Kerajaan besar itu akhirnya bubar, hanya 100 tahun setelah didirikan.
Maut Hitam
3. Maut Hitam
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa pernah ada wabah yang masif dan mematikan yang dikenal sebagai Black Death atau Maut Hitam.
Wabah yang terjadi pada Abad ke-14 dilaporkan membunuh sekitar 50 persen populasi di Eropa.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa wabah mematikan tersebut tak hanya terjadi di Benua Biru tapi Afrika, Timur Tengah, juga Asia.
Penyakit mematikan, yang penyebab utamanya adalah mikroba yersenia pestis adalah fenomena
yang meluas.
Istilah 'maut hitam' berasal dari gejala khas dari penyakit ini, yang disebut acral necrosis, di mana kulit penderita menjadi menghitam karena pendarahan subdermal.
Tak hanya mematikan, wabah itu juga memicu kepanikan meluas dan munculnya takhayul gila, seperti bahwa penyakit tersebut disebabkan hukuman dari Tuhan yang dipicu ulah kelompok tertentu.
Penyakit yang tak pandang bulu itu, yang menyerang kaum miskin, kaya, lemah, kuat, saleh, dan yang dianggap sesat -- memicu pergolakan sosial yang massif pada masanya.
Wabah kembali secara berkala sesudahnya, meski tidak dampaknya tak semengerikan pada Abad ke-14.
4. Irish Potato Famine
Wabah kelaparan dramatis terjadi di Irlandia tahun 1845-1852 -- Irish Potato Famine.
Dipicu kegagalan panen kentang, makanan pokok penduduk kala itu. Akibatnya tak main-main, 1 juta orang tewas, 1 juta lainnya meninggalkan negeri itu.
Irlandia bukan satu-satunya yang menderita karenanya. Tapi juga wilayah-wilayah di utara dan tengah Eropa, termasuk Skotlandia -- yang dikenal sebagai 'Highland Blight' or 'Highland Famine'.
Kondisi tersebut juga berpengaruh ke Belgia dan menghancurkan perekonomian Jerman -- ketika para pekerja yang kelaparan meninggal di jalan-jalan Eropa.
Belakangan, para ilmuwan berhasil menguak misteri penyebab gagalnya panen kentang kala itu. Tim yang dipimpin Sainsbury Laboratory, Norwich, menelusuri penyebaran secara global hawar --salah satu dari gejala serangan suatu patogen tumbuhan-- kentang dari tahun 1800-an hingga sekarang.
Phytophthora infestans -- yang menyebabkan hawar kentang -- muncul di Amerika Serikat pada 1844, dan menyebar ke Eropa pada tahun berikutnya.
Musim panas 1845 yang ringan tetapi sangat basah di Inggris dan Irlandia, memberikan kondisi yang sempurna untuk penyebaran hawar.
Advertisement
Perang Global
5. Perang 30 Tahun
Perang panjang itu diawali pada 1618 hingga 1648, selama 30 tahun. Pertempuran melibatkan sebagian besar kekuatan-kekuatan di Eropa.
Meski sekilas terlihat sebagai konflik agama, antara kaum Protestan dan Katolik --Â persaingan antara dinasti Habsburg dan kekuatan lain menjadi faktor pemicu penting perang tersebut.
Hampir semua negara di Eropa berpartisipasi dalam pertempuran tersebut. Namun, yang terparah terjadi di Kekaisaran Suci Romawi di Eropa Tengah.
Perang tersebut, di mana keserakahan politik dengan obsesi agama bersatu, tak ada satu pihak pun yang mau mengalah.
Dampaknya sungguh mengerikan. Kota-kota di Jerman hancur. Sejumlah wilayah berubah jadi kota hantu, sementara panen biji-bijian berkurang hingga 75 persen.
Musibah kelaparan dan wabah penyakit kian menambah nestapa.
6. Perang Dunia II
Sebuah pertempuran global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945: Perang Dunia II.
Setiap sudut Bumi, mungkin kecuali Antartika, menjadi saksi pertempuran sengit antara pihak Sekutu dan Poros (Axis). Dampaknya adalah kehancuran di Eropa dan Asia.
Selama perang berlangsung, 80 juga orang tewas di medan perang, pembunuhan massal kaum minoritas (termasuk Holocaust) dan kelaparan.
Bahkan setelah Perang Dunia II berakhir, kelaparan dan nestapa berlanjut. Orang-orang bertahan hidup di antara puing-puing kota maupun peradaban besar.
Tanpa air bersih, listrik, makanan, dan tidak ada pemerintahan yang efektif, di China dan Jepang, warga tak berdosa terjebak di antara kematian dan kekacauan.
Perekonomian dan tatanan masyarakat dunia hancur. Bahkan, Amerika Serikat yang menjadi pemenang perang ikut terdampak.
AS memproduksi 1 dari 2 produk yang dibuat pada tahun 1945 dan 1946. Kehancuran begitu nyata sehingga Kongres AS meluncurkan program ambisius untuk menormalkan perekonomian global dan mencegah Depresi Besar terulang kembali.
Cacar Air
7. Cacar Air
Kontak dengan Bangsa Eropa bisa berakibat mematikan bagi penduduk asli Benua Amerika dan Kepulauan Pasifik.
Kala itu, para petualang tak menyadari ada 'penumpang gelap' dalam kapal mereka selama penjelajahan pada Abad ke-15 dan Abad ke-16: cacar air.
Bangsa Eropa kala itu sudah membangun resistensi terhadap cacar air dan penyakit lainnya. Namun, tidak bagi warga di Amerika Utara, Karibia, Amerika Selatan, dan Oceania.
Selama berabad-abad, diperkirakan 60-70 persen penduduk asli meninggal dunia akibat cacar air.
Tak berdaya menghentikan penyebaran penyakit dan mencari cara mengatasi demam tinggi serta rasa sakit yang tak tertahankan, penduduk asli hanya bisa berharap pada para dewa.
Sebagian dari mereka bahkan memilih bunuh diri. Untuk mengakhiri penderitaan yang tak terperi.
8. Runtuhnya Imperium Romanum
Kekaisaran Romawi atau Imperium Romanum adalah kerajaan paling kuat yang disegani dunia. Yang pengaruhnya memiliki dampak yang mendalam pada budaya Mediterania dan Eropa.
Namun, sejarah gilang-gemilang selama 1.000 tahun itu akhirnya berakhir pada Abad ke-5 Masehi.
Keruntuhan Kekaisaran Romawi sudah diramalkan terjadi sejak akhir Abad ke-3, sejak Kaisar Diocletian membagi wilayah kekaisaran menjadi dua: Romawi Barat (berlokasi di kota Milan) dan Romawi Timur (berlokasi di Constantinople).
Runtuhnya kekaisaran Romawi disusul invasi berlarut-larut, runtuhnya pemerintahan demi pemerintahan, dan kelaparan yang menjadi-jadi.
Britania Romawi, misalnya, terlantar setelah legiun tentara ditarik mundur dari sana.Â
Setelah itu, bangsa Jutes dari Jerman, Angles, dan Saxon menginvasi, membentuk kembali Inggris melalui penaklukan.
Sementara, suku-suku Jerman mengisi kekosongan kekuasaan di Iberia, Gaul, dan bahkan semenanjung Italia. Kondisi berlangsung kacau hingga Abad ke-8.
Advertisement
Runtuhnya Dinasti Qing
9. Runtuhnya Dinasti Qing
Tiongkok selalu menjadi tempat dengan penduduk paling padat di Bumi. Tidak mengherankan jika salah satu pemerintahan mereka runtuh, itu berarti kehancuran bagi populasi dunia.
Namun, tak ada keruntuhan dan kelaparan yang melampaui yang terjadi pada akhir Dinasti Qing. Pada pertengahan Abad ke-19, keberuntungan Dinasti Qing menguap.
Inflasi membuat bahan makanan pokok tak terjangkau masyarakat kebanyakan; birokrat dan bangsawan serakah merampas tanah rakyat dan mengusir mereka keluar; sementara opium meraja lela.
Sejak pertengahan Abad ke-18, penduduk China menggembung hingga hampir 500 juta. Sehingga, saat perekonomian runtuh pada 1886, jutaan orang tewas kelaparan tiap tahunnya.
Diperparah kehancuran akibat Perang Opium I dan II, Dinasti Qing akhirnya runtuh. Kekacauan yang terjadi setelahnya menyebabkan kematian puluhan juta orang akibat konflik, kelaparan, perang, dan penyakit.
10. Megiddo
Kota Megiddo atau Tel Megiddo adalah pusat perdagangan, budaya, juga kekuasaan pada masa lalu.
Megiddo diperebutkan berulang kali oleh dua kekuatan, Bangsa Mesir dan Asyur -- kota itu ditaklukkan puluhan kali para zaman kuno.
Bukan penjajahan yang paling diingat atas Megiddo, melainkan kengerian pertempuran antara Mesir dan Asyur -- khususnya di bawah Thutmose III.
Kebiadaban perang masa itu terlukis dalam istilah Yunani untuk kota itu yang bersinonim dengan akhir zaman: Armageddon.
Sejumlah pengikut ajaran 'Ibrahim', seperti Kristiani meyakini pertempuran akhir zaman antara kebaikan dan kejahatan akan terjadi di sana.
Yang menarik, sejak pertempuran dahsyat pada Abad ke-15 Sebelum Masehi, area sekitar Megiddo menjadi lokasi peperangan, termasuk Perang Dunia I.