Liputan6.com, Berlin - Antrean yang tak berkesudahan, dokumen yang sulit ditembus, dan kata-kata bahasa Jerman yang sulit diucap dan ditangkap, itulah serangkaian kesulitan yang didera oleh para pendatang baru di negara dengan ekonomi paling top se-Eropa. Namun, kini ada aplikasi yang memudahkan bagi mereka.
Yang mengejutkan, aplikasi itu dibuat oleh para pencari suaka asal Suriah.
Baca Juga
Diberi nama Bureaucrazy, aplikasi ini menuntun para pendatang untuk memproses bagaimana mencari rumah, asuransi kesehatan, membuka akun bank. Kendati demikian, app tersebut tak menyebut bagaimana mencari suaka di negeri itu.
Advertisement
Tim pembuat yang membuat aplikasi itu adalah mereka yang menimba ilu di ReDi School for Digital Integration, yang bermarkas di Berlin. Sekolah tersebut merupakan lembaga non profit yang mengajarkan para pencari suaka pengkodean (coding) dan kewirausahaan.
Kelas pertama dibuka pada Februari lalu dan dihadiri 42 murid, di mana 35 di antaranya berhasil meraih gelar diploma pada Juni lalu. Demikian seperti dilansir dari News.com.au, Selasa (16/8/2016).
"Aku sangat kaget dengan antrean yang panjang dan lama saat datang pertama kali ke sini, aku harus menunggu 2 minggu untuk sebuah dokumen yang dinamakan 'Kostenuebernahme’, itu adalah izin untuk tinggal di apartemen atau hotel yang dibiayai negara," kata salah satu pembuat aplikasi, Omar Alshafai.
"Juga saat harus menandatangani dokumen, tertulis bahasa Jerman. Dan kami tak tahu di mana harus menggoreskan tanda tangan," lanju Alshafai yang datang dari Damaskus pada April 2015.
Puncak dari kompleksnya aturan Jerman terhadap pengungsi terjadi pada bulan lalu di mana seorang backpacker asal China membuat tajuk berita di seluruh dunia gara-gara ia tak sengaja menandatangani permintaan suaka setelah kehilangan dompetnya.
Ia baru bisa memperbaiki kesalahan dan mendapatkan paspornya kembali setelah 12 hari. Selama itu, ia terpaksa di penampungan pengungsi.
'Lidah' Jerman yang Membingungkan
Anggota tim Alshafai, Ghaith Zamrik, pemuda 19 tahun dari Suriah yang tiba di Berlin pada Natal tahun lalu. Dua bulan kemudian ia mendaftarkan diri ke sekolah ReDI.
"Di awal-awal kelas kami melakukan semacam pemanasan seperti berdiskusi masalah yang kami temui dan bagaimana teknologi dapat memecahkan masalah ini," kata Zamrik.
"Kami punya dua isu, bahasa dan birokrasi yang tak mudah dimengerti."
Sementara pasar dipenuhi dengan aplikasi penerjemah, tim itu melihat potensi lebih besar lagi seperti mendownload dokumen yang dibutuhkan dan lokasi peta kantor pemerintahan serta memberikan jawaban atas pertanyaan yang kerap ditanya.
Pasangan itu menemukan satu kata Jerman yang paling sulit diucapkan yaitu, 'Mietschuldenfreiheitsbescheinigung' yang berarti bukti kalau Anda tidak memiliki tunggakan uang sewa di rumah sebelumnya sebelum menyewa kontrakan lain.
Bahkan warga Jerman sendiri kesulitan memahami birokrasi pemerintahannya sehingga aplikasi ini berpotensi digunakan untuk non pengungsi.
"Kami berharap aplikasi ini penting tak hanya bagi para imigran dan pendatang baru, tapi juga warga Jerman sendiri," kata Zamrik.
Tim pembuat aplikasi itu bekerja dari mulai Februari dan selesai pada Juni. Mereka sukses melakukan demonstrasi di Pertemuan Startup Eropa di Berlin.
CEO pendiri ReDI, Anne Kjaer Riecher mengatakan ada sekitar 43.000 lapangan kerja yang membutuhkan IT. Para pencari suaka bisa memenuhi kekosongan itu.