Liputan6.com, Jakarta - Saat ini Amerika Serikat (AS) tengah menjadi sorotan dunia terkait dengan pemilu presiden yang akan berlangsung dalam hitungan jam ke depan. Calon presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton sudah mengakhiri kampanyenya di Raleigh, North Carolina.
Di sana, turut hadir pula sang suami, Bill Clinton dan putri mereka, Chelsea Victoria Clinton. Dalam kampanye terakhirnya, Hillary mengimbau para pemilih, untuk mendukung Amerika yang, "penuh harapan, inklusif, dan berhati besar."
Baca Juga
Sementara rivalnya, Donald Trump memilih melakukan kampanye terakhirnya di Grand Rapids, Michigan. Dalam kampanye terakhirnya, Trump mengatakan pada para pendukungnya, "bahwa inilah kesempatan luar biasa untuk mengalahkan sistem yang korup."
Advertisement
Menariknya, pilpres AS 2016 mencatat sejumlah sejarah. Baik Hillary dan Trump merupakan capres yang paling tidak populer sepanjang jajak pendapat bergulir di Negeri Paman Sam. Selain memiliki pendukung, keduanya juga memiliki pembenci yang jumlahnya tak sedikit.
Jika dilihat dari faktor usia, Trump dan Hillary memecahkan rekor sebagai capres tertua dibanding para pendahulunya. Trump saat ini berusia 70 tahun sementara Hillary 69 tahun.
Hillary akan mencatat sejarah tersendiri jika berhasil memenangkan pertarungan melawan Trump karena ia akan menjadi presiden perempuan pertama yang memimpin negara adi daya tersebut.
Pada sisi lain, Indonesia dan AS sama-sama mengusung konsep demokrasi dalam bernegara. Namun pemilu yang berlangsung di kedua negara ternyata sangat jauh berbeda. Seperti apa perbedaanya, berikut Liputan6.com kutip dari berbagai sumber:
1. Pemilu langsung dan tak langsung
Di Indonesia, presiden dimenangkan oleh mayoritas suara rakyat (popular vote). Jadi, siapa pun yang berhasil meraih suara rakyat terbanyak maka dipastikan ia akan melenggang ke istana. Namun tidak demikian di Negeri Paman Sam.
Kemenangan seorang capres akan sangat ditentukan oleh 538 perwakilan negara bagian (electors) yang tergabung dalam electoral college. Keberadaan electoral college ini diatur dalam konstitusi AS Pasal 2 Ayat 3. Sementara itu, untuk memenangkan pilpres dibutuhkan 270 suara electors (electoral vote).
Setelah pemilihan presiden diselenggarakan pada November maka electoral college akan mengadakan pertemuan pada bulan Desember. Di kebanyakan negara bagian, anggota electoral college memberikan suara mereka berdasarkan suara mayoritas pemilih di negara bagian mereka. Para pemilih akan memilih di negara bagian pada 15 Desember sementara Kongres akan menghitung hasilnya pada Januari.
Setiap negara bagian memiliki jumlah electors yang sama dengan jumlah perwakilannya yang duduk di Dewan Perwakilan AS yang ditentukan berdasarkan sensus populasi di negara bagian, ditambah dua senator.
Sebagian besar negara bagian memperbolehkan kandidat unggul 'memboyong' seluruh electoral vote atau dengan kata lain, kandidat yang meraih jumlah suara rakyat terbanyak akan mengambil semua jatah electoral vote di negara bagian tersebut.
Salah satu strategi pilpres adalah 'menyabet' negara-negara bagian yang ketika jatah electoral votenya ditambah akan berjumlah 270. Hasil pemilu bisa memicu negara-negara bagian untuk saling berlomba dalam electoral vote.
Satu imbas sistem yang memperbolehkan kandidat unggul untuk 'memboyong' semua electoral vote adalah bahwa sang kandidat mungkin saja memenangkan sara di tingkat nasional tapi kalah dalam pemilihan.
Namun terkadang popular vote bisa saja berbeda hasilnya dengan electoral vote. Peristiwa ini pernah terjadi empat kali di mana yang terakhir terjadi pada pilpres tahun 2000. Kala itu Wakil Presiden Al Gore memenangkan popular vote dari lawannya Gubernur Texas, George W. Bush (48,4 persen untuk Gore dan 47,9 persen untuk Bush).
Jika kedua kandidat sama-sama memenangkan 269 electoral votes atau tidak ada yang meraih mayoritas maka DPR akan melakukan voting untuk memilih Presiden.
Singkat kata, pilpres di Indonesia bergulir secara langsung sementara di AS tidak.
Advertisement
2. Pilpres AS dibarengi ratusan pemilu
Pada 8 November waktu setempat, warga AS tak hanya memberikan suaranya dalam pilpres AS.
Namun pada saat yang bersamaan ada ratusan pemilu lain untuk memilih kepala daerah di berbagai tingkatan, pemilihan hakim-hakim baru, bahkan pemilihan supervisor distrik-distrik sekolah publik.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia di mana pilpres hanya dilangsung untuk memilih presiden, tidak dibarengi dengan pilkada atau pemilihan lainnya.
Meminjam istilah Chargé D’Affaires (Plt Duta Besar) Kedubes AS, Brian McFeeters dalam pertemuan dengan media di Jakarta pada Kamis 3 November 2016 lalu, seorang pemilih di AS "seperti membawa pulang setumpuk pekerjaan rumah (PR) yang harus dipelajari dari berbagai calon dalam beberapa pemilu serentak yang berbarengan dengan pilpres."
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, jika bertepatan dengan pemilu maka pemerintah akan menerapkan hari libur nasional. Namun kebijakan tersebut tak berlaku di Negeri Paman Sam. Saat pemilu tiba, kegiatan sehari-hari masyarakat dipastikan akan berlangsung seperti biasa.
"Tidak ada libur," kata Managing Director Urusan Hubungan Masyarakat Departemen Luar Negeri AS, Richard Buangan di New York, Amerika Serikat kepada Liputan6.com, Selasa 8 November lalu.
Meski demikian, akan ada kompensasi bagi para warga AS yang akan menggunakan hak suaranya.
"Walau tidak ada libur, tapi kantor-kantor akan mengizinkan karyawannya datang terlambat atau pulang lebih cepat," papar Buangan.
"Ini dilakukan untuk agar pemilih punya waktu untuk menggunakan hak pilihnya," imbuhnya.
4. Bersih dari atribut pemilu
Pantauan jurnalis Liputan6.com di Miami, pada Rabu 3 November 2016, tak terlihat ada spanduk atau pamflet ajakan untuk memilih Hillary atau Trump yang terpampang di jalanan kota itu.
Pastinya ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia di mana warga dapat melihat banyak atribut kampanye di mana-mana.
Kota Miami terletak di Florida, negara bagian yang dipercaya menjadi kunci kemenangan kedua capres.
Advertisement