Liputan6.com, Jakarta Krisis Rohingya saat ini sedang menjadi perhatian sejumlah negara. Termasuk pula pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pada November lalu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) berunjuk rasa di depan Kedutaan Myanmar di Jakarta untuk menuntut pemerintah Myanmar agar berlaku adil terhadap etnis Rohingya.
Berbagai kecaman tak luput ditujukan kepada pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, salah satunya seruan untuk mencabut Nobel Perdamaian yang didapatnya pada 1991.
Advertisement
Lalu, sebenarnya apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam menaggapi krisis Rohingya?
Ditemui di sela-sela International Seminar, Democracy, and The Challenges of Pluralism and Security, cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan bahwa sikap emosional tidak dapat memecahkan masalah Rohingya.
"Saya kira sikap emosional tidak perlu ya. Emosional tidak memecahkan masalah. Yang diperlukan itu seperti menggalang bantuan untuk tempat penampungan sementara yang lebih layak, obat-obatan, makanan, pakaian, itu yang saya kira harus dilakukan," ujar Azra.
Baca Juga
Ia juga menyampaikan, jangan melakukan hal-hal yang juga sudah melebihi proporsinya. Seperti mendemo Kedutaan Myanmar ataupun ancaman dan intimidasi.
"Jadi penting sekali kalau ingin membantu bukan dengan cara emosional, tapi dengan bantuan yang konkret dari masyarakat Indonesia." kata mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu.
Menurutnya, masyarakat Indonesia punya potensi sangat besar untuk membantu warga Rohingya. Seperti halnya yang pernah dilakukan untuk masyarakat Palestina, membangun rumah sakit di Gaza.
"Saya rasa itu preseden bagus yang juga bisa diterapkan dalam batas tertentu untuk pengungsi Rohingya," ujar Azra.
Selain dari masyarakat muslim sendiri, ia berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus lebih aktif dengan melakukan diplomasi pada dua level.
"Yang pertama adalah G to GÂ (pemerintah ke pemerintah) dengan Myanmar, karena Indonesia sendiri disegani oleh Myanmar. Karena Mynamar banyak belajar dari Indonesia dalam sistem politik sejak zaman dwifungsi ABRI," kata pria kelahiran 1955 tersebut."
"Dwifungsi ABRI itu diambil oleh Myanmar untuk diterapkan dalam pemerintahannya, kemudian setelah itu baru mereka dalam beberapa tahun terakhir mulai mengadopsi demokrasi."
Menurutnya, hal tesebut membuat Indonesia berada dalam posisi yang sangat baik untuk berbicara langsung dengan pemerintah Myanmar guna mencoba menyelesaikan masalah ini.
Azra melanjutkan, diplomasi pada level kedua dapat dilakukan Indonesia dengan memainkan peran yang lebih besar bersama-sama negara ASEAN untuk membantu Myanmar memecahkan masalah Rohingya.
"Saya kira pemerintah Myanmar cukup terbuka, bahkan sudah ada komisi khusus untuk penyelesaian Rohingya yang diketuai oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan walau pun sejauh ini belum begitu efektif," ujar dia.