Isu Perbudakan ABK RI di Kapal Ikan Taiwan, Ini Tindakan Kemlu

Anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan dilaporkan menjadi korban perbudakan.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 13 Jan 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2017, 09:09 WIB
Budak Seks Hingga Mengemis, Ini 5 Bentuk Perbudakan Modern
Perbudakan di kapal nelayan Thailand (Ilustrasi)

Liputan6.com, Jakarta Anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan Taiwan dilaporkan menjadi korban perbudakan.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal. Ia mengatakan, masalah tersebut sudah kronis.

"Itu isu yang sudah sangat akut sebenarnya," ucap Iqbal di kantor Kemlu Jakarta, Kamis (12/1/2017).

Iqbal bahkan menyebut ABK yang bekerja di kapal Taiwan mayoritas terkait dengan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Kita sudah menangani isu TPPO dari tahun lalu tapi kita memisahkan TPPO TKI dan ABK karena kalau kita masuk TPPO ABK 90 persen yang bekerja di kapal-kapal ikan asing itu semua dengan mudah kita dapat indikasi mereka korban eksploitasi," ucapnya.

"Yang paling rentan bukan hanya TKI tapi ABK dan bahkan sektor kemanusian ABK jauh lebih parah dari TKI," sambung Iqbal.

Terkait angka pasti berapa jumlah ABK WNI yang dijadikan 'budak di kapal Taiwan' Iqbal tak punya angka pasti. Hanya saja dari laporan yang ia terima, jumlahnya ribuan.

"Nggak ada jumlah pasti, gambaran kurang lebih (ABK RI bekerja di kapal Taiwan) yang mampir di Cape Town 7 ribu dari berbagai macam kondisi, di Maurtius 3 ribu per tahun itu ilegal semua," sebutnya.

"Itu belum termasuk yang langsung ke Taiwan, yang ke Taiwan biasanya langsung bekerja di perikanan pantai, satu kapal kecil namanya sesuai dengan kaptennya, kapal kecil yang menangkap ikan di pantai," tambahnya.

Selain kerja yang tidak manusiawai, para ABK ini dilaporkan menerima upah sangat minim. Tak sesuai standar yang sudah ditentukan baik di dalam negeri maupun internasional.

"Gaji lebih mengerikan lagi. Rata-rata paling tinggi US$ 150 per bulan dan hanya US$ 50 yang diterima di kapal dan US$ 100 diterima selesai kontrak dua tahun itu dipotong. Kalau dia kecelakaan atau minta pulang, hilang itu," tegasnya.

Iqbal menambahkan, selain masalah gaji minim, ABK WNI juga tak mendapat asuransi kesehatan. Padahal, kerja di sektor perikanan memiliki risiko yang sangat tinggi.

Ia menambahkan karena tak ada asuransi pengobatan, para ABK menggunakan daging ikan tuna untuk menutup luka.

Iqbal, menyadari muncul masalah ini disebabkan pengelolaan pekerja ABK sektor perikanan yang masih sangat buruk.

"Ini karena tata kelola di dalam negeri belum bagus dan tingkat internasional belum baik, di internasional ada namanya MLC (maratime law convention) yang mengurus masalah ABK, tapi ABK yang kerja di perikanan diperkecualikan," kata dia.

Bukan cuma itu, tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Taiwan memperburuk masalah ini. Ia pun mengaku tak bisa memberikan perlindungan maskimal karena hal itu.

"Itu salah satu kesulitan tidak punya agen selain KDI tapi KDI kantor dagang di Taipei," terang Iqbal.

Kendati tantangan serta kesulitan banyak didapat, Pemerintah tak akan tinggal diam. Sudah ada cara yang disiapkan demi melindungi para pekerja Indonesia tersebut.

"Yang sudah pasti tahun ini ingin rekrut lawyer, yang kita tunjuk sebagai kuasa hukum kita," tambah dia. 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya