Parlemen Batalkan Aturan Kepemilikan Senjata Warisan Obama

Pembatalan peraturan itu membuat kelompok masyarakat golongan disabilitas berhak kembali memiliki senjata api sesuai Amandemen Kedua AS.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 03 Feb 2017, 16:21 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2017, 16:21 WIB
20160622-Pembelian Senjata Akan Dilarang, Peningkatan Penjualan Malah Meningkat di AS
Penjaga toko senjata, Ryan Martinez memegang senapan serbu AR-15 di toko senjata "Ready Gunner", Utah, AS, (21/6). Maraknya kasus penembakan seperti di Orlando baru terjadi, pemerintah AS akan menerapkan pengendalian senjata api. (REUTERS/George Frey)

Liputan6.com, Washington, DC - Parlemen Amerika Serikat telah memutuskan untuk membatalkan regulasi pemerintahan Barack Obama yang memperpanjang larangan kepemilikan senjata kepada penerima jaminan sosial penyandang cacat.

Kelompok masyarakat tersebut dinilai oleh pemerintah secara mental tidak mampu mengelola urusan mereka sendiri, apalagi memegang senjata api. 

Pembatalan tersebut diputuskan dalam voting, yang hasilnya 235 melawan 180 suara.

Pembatalan tersebut adalah bagian dari upaya untuk mencabut beberapa peraturan yang dikeluarkan pada bulan terakhir pemerintahan Barack Obama -- sekaligus merupakan langkah pertama menuju penguatan hak kepemilikan senjata di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Pemeriksaan latar belakang calon pemilik senjata api merupakan kewajiban sesuai aturan yang ditetapkan oleh Social Security Administration.

Kriteria itu wajib jika seseorang membeli senjata di AS termasuk di antaranya latar belakang kriminal.

Pemeriksaan itu juga berlaku bagi mereka memiliki latar belakang masalah mental yang parah sehingga tak bisa bekerja dan membutuhkan wali, demikian seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (3/2/2017).

Pemerintahan Trump memprediksi, berdasarkan regulasi warisan Obama, akan ada 75.000 orang yang terkena dampak larangan itu. Mereka ini termasuk kategori yang tak diperbolehkan memiliki senjata api.

Namun, sementara pemerintah memfinalisasi peraturan social security, golongan masyarakat tersebut dianggap bukanlah kelompok high-profile terkait kekerasan senjata api. Sehingga, pengacara pro-senjata mempersoalkan hak Amandemen Kedua AS bagi masyarakat golongan itu.

National Rifle Association menyebut, kebijakan itu menghilangkan hak seseorang secara legal untuk memiliki senjata api.

Dalam surat tahun lalu, National Council on Disability, sebuah agen independen federal , menulis: "Sederhana saja, tidak ada hubungan antara ketidakmampuan untuk mengelola uang dan diri sendiri dengan kemampuan untuk merasa aman dan bertanggung jawab, memiliki atau menggunakan senjata api."

Aturan jaminan sosial itu dianggap sewenang-wenang yang tidak masuk akal menghalangi individu penyandang disabilitas dari hak konstitusional, serta meningkatkan stigma soal kesehatan mental.

National Rifle Association, yang merupakan organisasi yang memiliki pengaruh atas keberhasilan Trump ke Gedung Putih, telah menantikan Kongres untuk membuat aturan baru yang melonggarkan kepemilikan senjata.

"Keputusan Kongres untuk meninjau kebijakan kepemilikan senjata pemerintahan Obama merupakan langkah maju yang signifikan dalam melindungi hak konstitusional yang mendasar bagi pemilik senjata yang taat hukum," kata Chris W Cox, direktur eksekutif dari NRA Institute for Action Legislatif, mengatakan dalam sebuah pernyataan di Januari.

"NRA telah berjuang keras atas keputusan pemerintah yang tak seusai dengan UU ini sejak pertama kali dibahas."

Beberapa pendukung kontrol senjata di Kongres menentang langkah itu, termasuk perwakilan Demokrat dari New York, Carolyn Maloney.

"Ini langkah mundur. Kita seharusnya tidak membatalkan peraturan keselamatan senjata api. Kita justru harus memperketat aturan itu, " katanya dalam sebuah pernyataan Kamis.

"Kekerasan senjata api adalah epidemi di negara ini dan kami (parlemen) merasa tak bisa melakukan apapun di depan Kongres tentang hal itu karena Partai Republik memiliki suara mayoritas di Parlemen pada tahun 2011," tutupnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya