Liputan6.com, Washington DC - Imigran Amerika Serikat melakukan aksi pemogokan "Day Without Immigrants" pada Kamis, 16 Februari 2017 waktu setempat. Protes tersebut menyerukan para imigran agar tak berangkat kerja, berbelanja, dan melarang anak mereka bersekolah.
Meski pemogokan tersebut mencakup semua sektor bisnis dan industri restoran merupakan bidang yang paling terdampak. Menurut data yang dikumpulkan oleh Institute for Immigration Research di George Mason University, sebanyak 23 persen tenaga kerja nasional merupakan imigran.
Baca Juga
Pemogokan tersebut bertujuan untuk menyoroti pentingnya imigran dalam ekonomi, di mana Pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump mengambil sikap keras terhadap kebijakan imigrasi.
Advertisement
Dikutip dari Washington Post, Jumat (17/2/2017), sejumlah restoran di Washington, Minneapolis, New York, dan Phoenix tutup untuk sehari. Sejumlah tempat penitipan anak dan sekolah juga ikut tutup.
Seorang guru di Paul Public Charter School di Washington DC, Leandra Gonzalez, memposting sebuah foto yang memperlihatkan ruang kelasnya yang kosong di hari pemogokan itu.
Ia mengatakan, murid-muridnya takut akan dampak kepemimpinan Donald Trump bagi mereka. Sebelum melakukan protes, orangtua murid meminta izin apakah anak-anaknya bisa berpartisipasi dalam pemogokan.
"Saya memastikan bahwa murid memahami bahwa ini bukan soal bolos sekolah atau hari libur," ujar Gonzalez. "Ini tentang memahami apa yang terjadi di sekolah jika mereka tak ada, karena mereka membawa begitu banyak budaya dan cerita yang menarik," imbuh dia.
Di Washington, di mana 48 persen orang yang bekerja di industri restoran merupakan kelahiran asing, puluhan restoran tutup. Sementara itu restoran lainnya memilih untuk tetap buka dengan pilihan menu terbatas karena kekurangan staf.
Seperti halnya di Virginia, aktivitas pertokoan masih tetap berjalan seperti biasa. Hal tersebut disampaikan oleh warga negara Indonesia yang berada di sana, Asih, kepada Liputan6.com.
"Di tempat saya tinggal toko-toko masih tetap buka. Berjalan seperti biasa," ujar Asih melalui aplikasi WhatsApp.
Tidak jelas berapa banyak orang yang berpartisipasi dalam Day Without Immigrants. Namun Wakil Presiden National Council of La Raza -- organisasi advokasi Latin nasional -- Clarissa Martinez, mengatakan bahwa pemogokan tersebut mengirim pesan yang kuat.
"Di saat pemerintahan tampaknya tak memiliki suatu hal positif terhadap komunitas imigran," kata Martinez. "Memiliki pemilik bisnis kecil, koki, dan pekerja yang menantang gagasan itu, memberikan suara bahwa kontribusi imigran terhadap masyarakat sangat signifikan."
Sebagai bagian dari aksi tersebut, organisasi non-profit May Languages One Voice menggelar pawai yang menutup jalan-jalan sibuk DC yang dimulai dari kawasan Mount Pleasant ke Gedung Putih. Para demonstran meneriakkan dalam Bahasa Inggris dan Spanyol bersumpah untuk tetap bersatu.
Penyelenggara protes mengaku aksi mereka berjalan dengan sukses dan berharap Trump mengakui dampak ekonomi Amerika Serikat dari boikot.
"Imigran adalah tulang punggung keluarga ini, dan Donald Trump perlu belajar soal hal itu," ujar Ray Jose dari Many Languages One Voice.
Pemilik Busnoys dan Poets yang merupakan imigran Irak, Andy Shallal, menutup enam restorannya di Washington DC. Ia mengatakan, hal tersebut akan menjadi pukulan keuangan besar, namun itu merupakan sikap penting untuk diambil.
"Saya adalah imigran, jadi saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar," ujar Shallal.