Pasca-Serang Suriah, Trump Ditinggalkan Pendukung Sayap Kanan

Selama kampanye Trump mengkritik pemerintah AS yang jadi polisi dunia. Ia berjanji tak akan melakukan proxy war seperti Obama.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 09 Apr 2017, 18:36 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2017, 18:36 WIB
Pasca-Serang Suriah, Trump Ditinggalkan Pendukung Sayap Kanan
Pasca-Serang Suriah, Trump Ditinggalkan Pendukung Sayap Kanan (AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Saat dunia bertepuk tangan atas keputusan Donald Trump untuk menyerang pangkalan Angkatan Udara Suriah atas nama balas dendam rezim Bashar Al-Assad menggunakan bom kimia, sayap-kanan populis baik dalam negeri maupun luar negeri yang selama ini mendukung Trump geram. Mereka mengkritik aksi Trump dan kini mengambil jarak dengan miliarder nyentrik itu.

Salah satu pendukung terdekat Trump yang kini menjaga jarak adalah Nigel Farage, pemimpin pro-Brexit dan dekat dengan Trump dari mulai masa kampanye. Pada Jumat 7 April 2017, Farage mengatakan ia sangat terkejut dengan tindakan Trump.

"Saya pikir pemilih Trump akan bangun pagi keesokan harinya dan menggaruk kepalanya serta mengatakan, 'kapan ini akan berakhir?'" kata Farage.

"Sebagai pendukung Trump, saya mengatakan, aksi Assad memang mengerikan, tapi langkah yang diambil Trump juga tak kalah mengejutkan," lanjutnya. Ia berargumentasi konflik Suriah dipicu oleh kelompok pemberontak ditambah kelompok ekstremis agama lainnya.

"Apapun dosa Assad, bagaimanapun dia itu sekuler," ucapnya, seperti dikutip dari CNN, Minggu (9/4/2017)

Komentar Farage menggambarkan betapa marahnya kelompok sayap kanan atas tindakan Trump. Mereka juga frustrasi dengan serangan itu.

Kelompok populis sayap kanan mendukung Trump dengan alasan saat kampanye Trump mengkritik kebijakan pemerintahan Obama yang kerap menjadi 'polisi dunia' dengan perang proxy. Namun, dengan aksi Trump menyerang Suriah, mereka terkejut.

Aksi Trump ini didukung oleh sejumlah pemimpin negara yang kerap berseberangan dengan dirinya. Termasuk Presiden Prancis Francois Hollande dan Kanselir Jerman Angela Merkel. Sekjen NATO Jens Stoltenberg pen setali tiga uang. Demikian pula dengan PM Justin Trudeau yang "mendukung penuh langkah AS," juga PM Jepang, Shinzo Abe yang mengatakan akan mendukung langkah AS.

Menteri Pertahanan Inggris Michael Fallon mengatakan, "pihak kami mendukung penuh apa yang telah dilakukan oleh AS karena serangan udara itu pantas dilakukan serta sesuai."

Pernyataan itu jelas bertolak belakang dengan Farage yang meminta Inggris agar tidak terlalu terlibat dengan serangan udara AS lainnya ke Suriah.

"Sebelumnya AS sudah melakukan intervensi ke Timur Tengah yang membuat makin buruknya keamanan dibanding lebih baik," tegasnya.

Pemimpin partai Independent Party, sayap kanan Inggris pro-Brexit, Paul Nuttall mengatakan serangan udara Trump ke Suriah, "tak etis dan tak akan mendapatkan apa-apa kecuali kesengsaraan."

"Seluruh dunia tegas mengutuk senjata kimia yang dilakukan oleh AS, tapi serangan AS ke rezim Assad jelas tak membuat situasi mereda dan membuat perdamaian di negara itu," kata Nuttall.

Sementara itu, di Prancis, calon presiden dari sayap kanan National From Marine Le Pen juga mengutuk tindakan Trump. Ia mencoba menjaga jarang dengan mengatakan dalam Twitternya, "mengutuk serangan mengerikan AS ke pangkalan udara Suriah."

"Mengapa kita menunggu hasil investigasi independen internasional sebelum menyerang?" kata Le Pen.

Di dalam negeri AS sendiri pun, para pendukung Trump dari ultra nasionalis juga mengecam aksi miliarer nyentrik.

"Presiden butuh otorisasi kongres jika ingin mengambil tindakan militer sesuai dengan Konstitusi. Saya akan memanggilnya ke Kongres untuk mempertanggungjawabkan aksinya itu," ujar Rand Paul, dari kongres.

Komentator sayap kanan Ann Coulter, yang berkampanye untuk Trump, menulis di Twitter: "Mereka yang ingin kita campur tangan di Timur Tengah memilih kandidat lainnya."

"Kampanye Trump adalah tidak akan terlibat di Timur Tengah," tulisnya. "Ia mengatakan campur tangan itu justru menciptakan musuh-musuh dan menciptakan lebih banyak pengungsi,"lanjutnya.

Sementara itu mantan editor Brietbart Milo Yiannopoulos, yang baru-baru mengundurkan diri setelah komentar membela pedofilia, menulis di Twitter, "Akan ada satu hari dalam kehidupan setiap anak ketika Daddy-nya secara pahit telaj mengecewakan dia."

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya