Kasus Perdana Sunat Perempuan Hebohkan AS

Tiga pelaku dari Michigan ditangkap atas tuduhan melakukan praktik pemotongan genital kepada anak perempuan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 24 Apr 2017, 06:48 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2017, 06:48 WIB
Burhani Medical Clinic, tempat salah satu pelaku bekerja, diperiksa FBI (AP)
Burhani Medical Clinic, tempat salah satu pelaku bekerja, diperiksa FBI (AP)

Liputan6.com, Washington, D. C. - Tiga orang dari Michigan ditangkap atas tuduhan melakukan praktik pemotongan genital atau sunat kepada anak perempuan. Kasus ini merupakan yang pertama dilaporkan kepada pemerintah federal Amerika Serikat dan diproses secara hukum.

Ketiga pelaku antara lain Dr. Fakhruddin Attar (53), istrinya Farida Attar (50) dari Burhani Medical Clinic, dan petugas ruang gawat darurat Jumana Nagarwala (44) dari Henry Ford Health System. Mereka berasal dari Livonia, Michigan. Para pelaku dituduh dengan undang-undang federal atas pasal perbuatan konspirasi, pemotongan genitalia perempuan, dan persekongkolan jahat.

Para pelaku disinyalir oleh aparat penegak hukum sebagai anggota komunitas agama dan budaya yang mempraktikan pemotongan genitalia--area klitoris--sebagai langkah untuk menekan seksualitas perempuan.

Pada sebuah sidang dengar pendapat, Shannon Smith, pembela hukum Nagarwala berargumen bahwa praktik medis tersebut tidak melibatkan pemotongan genitalia dan juga tidak mengandung unsur keagamaan. Sang pengacara menambahkan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh sebuah sekte keagamaan bernama Dawoodi Bohra, aliran penganut Islam yang berbasis di India.

Hingga saat ini, tempat para pelaku bekerja, masih berada dalam pengawasan aparat penegak hukum.

Kasus tersebut pertama kali dilaporkan kepada dan ditangani oleh Badan Investigasi Federal (FBI) pada Februari 2017.

Menurut data Centers for Disease Control and Prevention tahun 2012, sekitar 513.000 perempuan, baik anak maupun dewasa di AS terancam menjadi korban mutilasi genitalia. Angka ini dua kali lebih besar dari data tahun 1990. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menilai bahwa praktik tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak perempuan.

Para korban merupakan dua bocah perempuan berusia sekitar 7 tahun. Mereka diajak oleh orang tua masing-masing ke Burhani Medical Clinic. Salah satu korban menjelaskan kepada penyidik bahwa dirinya diperiksa oleh dokter di klinik tersebut atas laporan 'sakit perut' dan prosedur pemotongan genitalia dilakukan untuk menghilangkan rasa 'sakit perut' korban. Pasca-prosedur, para anak-anak itu juga diminta oleh orangtuanya untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang lain.

Sementara itu, pihak Dr. Attar berdalih bahwa dirinya tidak tahu-menahu dan menjelaskan bahwa Nagarwala-lah pelaku tunggalnya. Sang dokter berdalih bahwa prosedur itu dilakukan dibelakang dan tanpa sepengetahuan dirinya.

"Dr. Attar bersedia untuk memberikan penjelasan tanpa didampingi pengacara. Ia tidak memiliki riwayat pelanggaran hukum dan menyatakan tak bersalah," kata penasihat hukum Dr. Attar, seperti yang dikutip CNN, Senin (24/4/2017).

Sementara itu, istri sang dokter, Farida Attar, tidak mengeluarkan pernyataan apakah dirinya bersalah atau tidak.

"Klien saya belum mengakui apapun...tapi kami akan tetap melakukan pembelaan," kata penasihat hukum Farida Attar.

Pihak komunitas ketiga pelaku menjelaskan akan membantu segala hal yang diperlukan penegak hukum guna kepentingan pengusutan kasus.

"Setiap pelanggaran terhadap hukum AS tentu bertentangan dengan peraturan komunitas kami...Dawoodi Bohras sangat patuh hukum di tempat kami tinggal, dan kami selalu mengingatkan itu pada setiap anggota kami," tutup pemimpin masjid komunitas Dawoodi Bohra di Michigan, AS.

Hingga berita ini diturunkan, kasus masih dalam proses pemeriksaan. Aparat penegak hukum Negeri Paman Sam juga mengimbau agar masyarakat setempat melaporkan segala bentuk kasus pemotongan genitalia perempuan kepada kantor kepolisian terdekat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya