Dianggap Brutal, PBB Minta Thailand Revisi UU Penistaan Kerajaan

Komisi HAM PBB meminta Thailand untuk mengamendemen undang-undang yang mengatur tentang lèse-majesté.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Jun 2017, 17:31 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2017, 17:31 WIB
Thailand
Thailand

Liputan6.com, Bangkok - Komisi HAM PBB meminta Thailand untuk mengamendemen undang-undang yang mengatur tentang lèse-majesté. Komisi itu menilai bahwa hukum yang melarang penistaan terhadap keluarga kerajaan tersebut memicu tingginya angka dakwaan dan memiliki bobot hukuman yang tidak manusiawi.

Berdasarkan pengamatan Komisi HAM PBB, sejak kudeta militer 2014 lalu, jumlah individu yang diinvestigasi terkait dugaan pelanggaran lèse-majesté di Thailand meningkat dua kali lipat jika dibandingkan dengan kuantitas 12 tahun yang lalu. Demikian seperti yang diwartakan dari BBC, Senin (19/6/2017).

Bahkan, pada 12 tahun yang lalu, hanya 4 persen kasus yang dijatuhi vonis oleh pengadilan.

Namun kini, penanganan sistem peradilan pidana Thailand atas kasus lèse-majesté dinilai terlampau keras.

Ada sejumlah faktor, seperti ancaman hukuman maksimal untuk tindakan lèse-majesté di Thailand yang berupa eksekusi.

Pihak lain menilai, penyebab brutalnya praktik penegakan hukum lèse-majesté di Negeri Gajah Putih disebabkan oleh rezim militer yang berkuasa. Banyak persidangan terhadap kasus tersebut dilakukan dalam sesi yang tertutup atau di dalam pengadilan militer, dan tak jarang hak-hak terdakwa dibatasi. 

 

Saksikan video tentang satu tahun meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej: 

 

Kasus Terdahulu

Awal bulan Juni 2017 lalu, seorang pria divonis 35 tahun penjara setelah mengunggah sebuah tulisan bermuatan penistaan terhadap keluarga kerajaan lewat akun Facebook-nya.

Dua tahun yang lalu, pada 7 Agustus 2015, Pongsak Sriboonsong 28 tahun didakwa 60 tahun penjara atas kasus serupa. Pria itu mengaku bersalah di hadapan pengadilan dan hukumannya dikurangi menjadi 30 tahun.

Menurut pengakuan Pongsak, dirinya memposting sebuah tulisan bermuatan penistaan terhadap keluarga monarki Thailand. Ia menulis tulisan itu sebagai bentuk opini pribadinya atas situasi politik yang berujung kudeta militer 2014 di Negeri Gajah Putih.

Kasus kedua yang menunjukkan brutalnya praktik penegakan hukum lèse-majesté di Thailand adalah yang dialami oleh Sasiwimon, 29 tahun, dari Chiang Mai. Ia merupakan seorang orang tua tunggal dengan dua bocah perempuan yang juga turut merawat ibunya yang telah lansia.

Kasusnya serupa seperti Pongsak, dan pengadilan memvonis Sasiwimon dengan hukuman 56 tahun penjara. Ia mengaku bersalah dan hukumannya dikurangi setengah.

Setelah vonisnya dikurangi, perempuan 29 tahun itu kembali meminta keringanan hukuman mengingat statusnya sebagai ibu tunggal. Namun, pengadilan tidak mengabulkan permohonan keringanan yang diajukan oleh ibu dua anak itu, dan ia harus mendekam selama 28 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Chiang Mai.

Meski ibu dan dua anaknya dibolehkan untuk berkunjung selama seminggu atau dua minggu sekali, rasa rindu kerap menyeruak dari relung hati Sasiwimon ketika keluarganya berkunjung ke Lapas Chiang Mai.

Perempuan 29 tahun itu bercerita kepada BBC, bahwa kasus yang ia alami nampak seperti jebakan. Suatu hari, seorang teman menggunakan akun Facebook-nya untuk menulis sebuah komentar yang mungkin bernada lèse-majesté. Sejak itu Sasiwimon terjerat UU penistaan keluarga kerajaan, dan teman yang menggunakan akun Facebook-nya beberapa hari lalu, menghilang.

 

Aktivis Ultra Pro-Monarki

Di spektrum yang berlawanan, ada sejumlah orang, salah satunya seperti Krit Yeammaethakorn yang memimpin kelompok ultra pro-monarki di Chiang Mai Thailand. Kelompok Krit menjadi social media watchdog, memburu akun yang memposting konten bermuatan lèse-majesté.

"Saya marah. (Konten mereka) Bukan tentang politik. Maka kami berdiskusi dan bertindak untuk merespons hal-hal itu," jelas Krit.

Ia bersama Cs-nya merupakan sekelompok orang di Thailand yang menaruh hati sedemikian besar terhadap Monarki Thailand. Bahkan, Krit mengaku sempat terisak tangis saat mendengar meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej pada 2016 lalu.

"Saya tahu bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang masih memperlakukan raja layaknya dewa, atau anak dewa. Seperti itulah raja kami. Dan itu yang saya rasakan kepada sang raja. Saya percaya, dalam 5.000 tahun terakhir, tidak ada raja yang sehebat dia," tambahnya.

Dan tak dinyana, kelompok yang dipimpin Krit merupakan pihak yang melaporkan kasus lèse-majesté Sasiwimon ke kepolisian Chiang Mai. Kepolisian pun nampak melakukan persekusi kepada ibu dua anak itu, dengan memintanya menandatangani sebuah surat pernyataan yang isinya tak diketahui oleh Sasiwimon.

Ternyata surat itu merupakan keterangan pengakuan yang bermuatan hukum yang menyatakan bahwa Sasiwimon merupakan orang yang melakukan posting lèse-majesté di akun Facebook-nya.

Sasiwimon menolak keterangan dalam surat tersebut. Ia mengaku punya alibi kuat dan mengaku tidak menulis posting seperti yang dituduhkan kepadanya. Dan sejak itu, perempuan 29 tahun itu mendekam di sel tahanan kepolisian, menunggu persidangan.

 

Hukum Militer, Tanpa Banding

"Saya pikir dia hanya lapor diri dan kemudian kembali pulang. Saya tak tahu jika harus separah itu. Awalnya saya pikir hanya satu tahun hukuman, atau mungkin peringatan. Padahal kami tidak punya riwayat pelanggaran hukum sebelumnya. Kami baru mengetahui hukum (lèse-majesté) ini setelah terjadi kasus," kata ibu Sasiwimon, Suchin.

Selama ditahan menunggu sidang, Sasiwimon tidak diberikan hak untuk bebas bersyarat. Selain itu, selama proses penahanan menjelang sidang, pengacara terus membujuk agar perempuan 29 tahun itu mengaku bersalah agar hukumannya dapat berkurang.

Saat persidangan tiba, ibu dua anak itu mengaku terkejut dengan vonis yang diberikan oleh pengadilan.

"Saya pikir hanya 4 hingga 5 tahun. Bahkan saya tidak memikirkan hingga lebih dari 10 tahun. Ternyata vonis 56 tahun. Saat mendengar ketuk palu itu, telinga saya terasa berdengung. Sungguh terkejut," kata Sasiwimon.

Karena sidang tersebut dilaksanakan di pengadilan militer, Sasiwimon tidak diberikan hak untuk banding.

Pada akhirnya, ibu dua anak itu mengaku bersalah --meski hingga kini ia merasa tidak pernah melakukan lèse-majesté-- dan pengadilang mengurangi vonis menjadi setengahnya.

 

Berharap Ada Keringanan

Krit Yeammaethakorn, yang organisasinya melaporkan Sasiwimon ke peradilan Chiang Mai, mengaku tidak menyesal atas tindakannya. Meski jika mengetahui sang terlapor --yang kini terpidana-- pada saat itu adalah seorang ibu tunggal dengan dua orang anak.

"Tahu atau tidak, hal itu tidak akan membuat perbedaan. Saya tidak menyesal, yang lain pun tidak. Ini isu pelanggaran hukum terhadap institusi tertinggi, yakni kerajaan. Meski ia seorang ibu muda, punya dua anak, atau tidak paham hukum, yang terpenting adalah bahwa hukum akan tetap menindaknya. Pelanggar harus dihukum," kata Krit.

"Namun aku tetap berharap ia dapat keringanan," tambahnya, meski kini ia tidak begitu mendalami proses hukum Sasiwimon, yang ironisnya dilaporkan oleh pihak Krit.

Saat ini, Sasiwimon telah mendapatkan pengurangan hukuman, hingga kini menjadi 12 tahun penjara. Ia masih terus mengajukan remisi, meski merasa malu harus memohon kepada institusi yang membuatnya mengalami kondisi seperti kini.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya