Konflik Myanmar Diperparah dengan Foto Hoax

Diduga kuat kondisi yang terjadi di Myanmar diperparah dengan tersebarnya foto hoax.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 02 Sep 2017, 20:24 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2017, 20:24 WIB
Warga Rohingya
Sejumlah warga Rohingya saat dihadang petugas perbatasan di Ghumdhum, Bangladesh, (28/8). Ribuan muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar, melarikan diri dan terjebak di perbatasan Myanmar - Bangladesh. (AP Photo/Mushfiqul Alam)

Liputan6.com, Naypyidaw - Memanasnya kondisi Myanmar, diperparah dengan tersebarnya foto hoax. Foto tersebut bahkan tersebar luas di media sosial.

Masalah itu, pertama kali mengemuka ketika pada 29 Agustus 2017 Deputi Perdana Menteri Turki Mehmet Simsek men-tweet 4 foto untuk mendorong komunitas internasional menghentikan pembersihan etnis yang terjadi di Myanmar.

Foto tersebut di-retweet sebanyak lebih 1600 kali dan mendapat like dari 1200 pembaca.

Namun, tindakan Simsek mendapat kritik tajam. Pasalnya, keaslian foto tersebut mulai dipertanyakan.

Tiga hari setelah tweet dikeluarkan, warganet ramai-ramai meminta Simsek menghapus foto tersebut.

Foto pertama yang ditampilkan Simsek dalam Twitter-nya memperlihatkan mayat-mayat sudah dalam keadaan membengkak.

Sejumlah warga Myanmar menyatakan bahwa foto itu bukan warga Rohingya, melainkan korban dari topan Nargis yang menghantam Myanmar Mei 2008 lalu.

Foto kedua pun ternyata diduga merupakan gambar korban tsunami Aceh yang diambil seorang juru kamera kantor berita Inggris, Reuters.

Gambar ketiga yang memperlihatkan dua bayi yang menangis di pelukan ibu juga diduga bukan warga Rohingya, tetapi berasal dari insiden Rwanda pada Juli 1994 lalu.

Untuk foto keempat media ternama BBC, sulit memastikan kebenarannya, apakah hoax atau benar. Akan tetapi, ada dugaan foto tersebut sumbernya dari sebuah situs untuk mengumpulkan dana membantu korban banjir Nepal.

Sulitnya Masuk Wilayah Rohingya

Koresponden BBC Asia Tenggara Jonathan Head menyebut, sangat sulit mendapat konfirmasi dari pemerintah setempat ataupun masuk ke wilayah Rohingya untuk melakukan peliputan.

"Informasi sangat samar dan wartawan memiliki akses yang sangat terbatas untuk masuk ke wilayah ini," ucap Head seperti dikutip dari BBC, Sabtu (2/9/2017).

"Bahkan bagi mereka yang sudah masuk daerah itu, situasi di sana mudah berubah dan untuk mengumpulkan informasi mengenai permusuhan terhadap masyarakat Rohingya sangat sulit dilakukan," ucap dia.

Adanya foto-foto hoax untuk memperkeruh keadaan, Head menyebut kemungkinan itu mendekati fakta. Bahkan, dari investigasi yang mereka lakukan, ditemukan satu buah foto di social media yang disebut-sebut sebagai warga Rohingya sedang dilatih menembak terbukti salah.

Foto itu adalah gambar saat para pejuang Bangladesh sedang berlatih untuk menghadapi perang kemerdekaan pada 1971 lalu.

"Awal tahun ini ketika sebuah tim dan Komisi HAM PBB melakukan penelitian tentang dugaan pelanggaran HAM di Rakhine, mereka memang menolak memakai foto yang tidak mereka ambil sendiri sebagai bukti," ucap dia.

Simak video berikut

Myanmar: Kami Korban dari Berita Palsu

Pada Desember tahun lalu, lewat sebuah pernyataan tertulis kepada CNN, juru bicara pemerintah Myanmar, Aye Aye Soe, menuding bahwa Amnesty International telah menjadikan Myanmar "korban dari berita palsu" dan sebuah "kampanye disinformasi".

"Hal paling menyedihkan dan sangat disayangkan bahwa organisasi seperti Amnesty International melontarkan tuduhan tak berdasar, yang terdiri dari foto dan keterangan yang mengambang di media massa dan mencapai kesimpulan mereka sendiri," ujar Aye Aye Soe.

"Memicu kegaduhan internasional, mendorong ekstremisme, kebencian dan serangan bersenjata yang pastinya tidak akan memecahkan permasalahan di Rakhine," ujarnya.

Menurut Soe, selama delapan bulan terakhir, pemerintahan Myanmar telah mengambil inisiatif untuk mengatasi persoalan di Rakhine, termasuk proses verifikasi kewarganegaraan untuk Rohingya. Ia juga menegaskan, Amnesty International mengabaikan perkembangan tersebut.

Soe menekankan bahwa perubahan membutuhkan waktu.

"Ruang dan waktu harus diberikan untuk membiarkan inisiatif ini bekerja dan bukannya justru bersekongkol untuk menyalakan api, menambah kompleksitas masalah ini," ujar Soe.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya