Penghargaan Nobel untuk Aung San Suu Kyi Tidak Bisa Dicabut

Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara itu setelah Myanmar mengadakan pemilu bebas pertama pada tahun 2012.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 10 Sep 2017, 07:36 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2017, 07:36 WIB
20160914-Kunjungi AS, Suu Kyi Temui Obama di Gedung Putih-Washington
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden AS, Barack Obama di Gedung Putih, Rabu (14/9). Suu Kyi bertemu Obama dalam kunjungan pertamanya ke AS sejak partainya memenangi pemilu tahun lalu. (Jim Watson/AFP)

Liputan6.com, Yangon - Organisasi yang mengawasi pemberian Hadiah Nobel Perdamaian menyatakan penghargaan yang dianugerahkan kepada pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada tahun 1991 itu tidak dapat dicabut.

Dikutip dari laman Voice of America, Minggu (10/9/2017), Institut Nobel Norwegia menyatakan, surat wasiat pemrakarsa Hadiah Nobel, Alfred Nobel, maupun Yayasan Nobel tidak mengatur tentang kemungkinan menarik kehormatan itu dari para pemenangnya.

Sebuah petisi di Internet yang ditandatangani oleh lebih dari 386 ribu orang di Change.org menyerukan agar Hadiah Nobel Perdamaian itu dilucuti dari Suu Kyi, sehubungan dengan persekusi terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Suu Kyi menerima penghargaan itu karena "perjuangannya yang tanpa kekerasan bagi demokrasi dan hak asasi" sambil melawan penguasa militer.

Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara itu setelah Myanmar mengadakan pemilu bebas pertama pada tahun 2012 dan ia memimpin partainya meraih kemenangan telak.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menanti Aksi Suu Kyi

Peraih Nobel Perdamaian Desmond Tutu (85) mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (72) untuk mengakhiri kekerasan yang menimpa etnis Rohingya. Sama seperti Tutu, Suu Kyi juga merupakan penerima Nobel Perdamaian.

Tutu yang juga merupakan seorang Uskup Agung mengatakan bahwa "kengerian" dan "pembersihan etnis" di wilayah Rakhine telah memaksanya untuk bicara, menentang wanita yang dikagumi dan dianggapnya sebagai saudara perempuan tercinta. Demikian seperti dikutip dari The Guardian.

Meski Suu Kyi membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintahannya tengah menangani krisis Rohingya, Tutu mendesak peraih Nobel Perdamaian lainnya untuk melakukan intervensi.

"Saya sekarang sudah tua, jompo, dan secara resmi telah pensiun. Namun, saya melanggar sumpah saya untuk tetap diam dalam urusan publik karena dipicu kesedihan mendalam," ungkap Tutu melalui sebuah surat.

"Selama bertahun-tahun saya memiliki foto Anda (Suu Kyi) di meja untuk mengingatkan saya akan ketidakadilan dan pengorbanan yang Anda alami atas cinta dan komitmen Anda bagi rakyat Myanmar. Anda melambangkan kebenaran," ujar Tutu.

"Kemunculan Anda dalam ranah publik menghilangkan kekhawatiran kami tentang kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rohingya. Namun, apa yang disebut dengan 'pembersihan etnis' dan 'genosida yang perlahan-lahan' saat ini dipercepat."

"Ini tidak sesuai bagi sebuah simbol kebenaran untuk memimpin negara dengan cara seperti itu. Jika ongkos politik untuk menaikkan Anda ke posisi tertinggi di Myanmar adalah sikap diam Anda, maka ini harga yang terlalu mahal," tutur aktivis anti-Apartheid tersebut.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya