Liputan6.com, Dhaka - Sejumlah badan PBB di Bangladesh mengatakan, kedatangan para pengungsi Rohingya dari Myanmar menurun secara drastis dalam dua hari terakhir.
Meski demikian, juru bicara International Organization for Migration (IOM) menyebut, terlalu dini untuk mengatakan bahwa gelombang pengungsi itu telah berakhir.
"Kita hanya memiliki sedikit pengelihatan atas apa yang terjadi di Rakhine dan sebagian besar perpindahan tersebut merupakan respons langsung terhadap kekerasan yang terjadi di sana," ujar juru bicara IOM, Peppi Siddiq, dikutip dari BBC, Senin (25/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Pada 23 September kemarin, penjaga perbatasan Bangladesh mengatakan bahwa jumlah pengungsi yang masuk hampir berhenti.
"Penjaga kami belum melihat kedatangan warga Rohingya dalam beberapa hari terakhir ini," ujar Komandan Penjaga Perbatasan Bangladesh, SM Ariful Islam.
"Gelombang pengungsi telah berakhir," ujar dia.
Dalam laporan perkembangan terpisah, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, mengatakan bahwa ia terkejut dengan apa yang ia lihat di tempat pengungsian Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.
"Tantangan terbesar adalah memberi mereka tempat tinggal yang layak," ujar Grandi.
"Apa yang mengejutkan saya adalah, jumlah orang yang telah membuat pemukiman darurat di perbukitan di distrik Cox's Bazar. Di sana lahan sangat kecil namun pengungsi sangat banyak," imbuh dia.
Pemicu Terjadinya Gelombang Pengungsi Rohingya
Gelombang pengungsi mulai terjadi pada pertengahan Agustus 2017. Kala itu militer Myanmar meluncurkan operasinya di negara bagian Rakhine -- rumah bagi warga Rohingya -- setelah sejumlah orang menyerang beberapa kantor polisi.
Militer Myanmar menyalahkan Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa) atas kejadian tersebut.
Operasi militer itu disebut militer Myanmar untuk menumpas para militan. Pemerintah Myanmar pun berulang kali menyebut bahwa pihaknya tak menargetkan warga sipil. Namun, para saksi mata membantah klaim tersebut.
Gelombang kekerasan yang terjadi di Rakhine bukan kali ini saja terjadi. Pada Oktober 2016, warga Rohingya juga harus menyelamatkan diri dari Rakhine setelah pemerintah meluncurkan operasi militer di sana.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mendapat sorotan dan tekanan dari dunia internasional atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine.
Dalam pidato nasional pada 19 September 2017, Suu Kyi mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Namun, ia sama sekali tak menyinggung soal militer Myanmar dan tentang pembersihan etnis.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement