India Batalkan Sanksi untuk Wartawan yang Dituduh Sebarkan Hoaks

Beberapa media melaporkan bahwa perintah penangguhan kartu pers itu, telah dicabut atas perintah Perdana Menteri India Narendra Modi.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Apr 2018, 06:27 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2018, 06:27 WIB
Ilustrasi hoax
Ilustrasi hoax (iStockPhoto)

Liputan6.com, New Delhi - Kementerian Penerangan dan Penyiaran India, pada Selasa 3 April 2018, membatalkan aturan baru yang bertujuan menindak wartawan yang dituduh menyebarkan berita bohong atau berita palsu.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (5/4/2018), pembatalan itu dikeluarkan hanya beberapa jam setelah Kementerian Penerangan dan Penyiaran mengumumkan bahwa pemberian kartu pers ditangguhkan apabila pemegangnya dituduh menyebarkan berita bohong.

Kantor berita Associated Press melaporkan, peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah India, yang seringkali sangat peka atas kecaman media itu, membuat marah banyak wartawan dan politisi oposisi.

Mereka mengatakan, peraturan itu adalah usaha untuk membungkam media menjelang pemilihan umum yang akan diadakan tahun depan.

Beberapa media melaporkan bahwa perintah penangguhan kartu pers itu, telah dicabut atas perintah Perdana Menteri India Narendra Modi.

Modi mengatakan bahwa masalah terkait berita bohong harus diselesaikan oleh Dewan Pers India, kelompok media yang semi-independen.

Pernyataan Kementerian Penerangan dan Siaran itu awalnya mengatakan bahwa wartawan yang kedapatan menyebarkan berita palsu akan dicabut kartu persnya selama enam bulan, untuk pelanggaran pertama.

Penangguhan itu akan berlangsung satu tahun untuk pelanggaran kedua, dan kalau terjadi untuk ketiga kalinya, wartawan yang bersangkutan tidak akan bisa lagi bekerja sebagai wartawan.

 

 

Saksikan juga video berikut:

India Blokir 22 Media Sosial

Ilustrasi Sosial Media
Ilustrasi Sosial Media

Sebelumnya, pada April 2017, pihak berwenang di Kashmir yang pemerintahannya dikelola India, mengumumkan larangan satu bulan terhadap 22 layanan media sosial, termasuk Facebook, Twitter dan WhatsApp. Sebab layanan tersebut dianggap sebagai biang rusuh.

Pemerintah negara bagian itu mengatakan, bahwa layanan media sosial tersebut disalahgunakan oleh elemen anti-pemerintah untuk menghasut kekerasan.

Videografis yang menunjukkan aksi kekerasan di kedua kubu telah dibagikan secara ekstensif. Sedikitnya sembilan orang tewas dalam bentrokan yang meluas dengan pasukan keamanan di wilayah yang disengketakan tersebut.

Layanan media sosial lainnya, alat komunikasi dan website yang dilarang berdasarkan perintah itu termasuk situs berbagi video ternama, Skype, Telegram, Snapchat dan Reddit.

Perintah pemerintah negara bagian itu menyebutkan, bahwa video berisi adegan tak layak didistribusikan untuk menyebarkan rasa tidak puas kepada pihak berwenang.

Konfrontasi di Kashmir sering terjadi sejak pembunuhan pemimpin militan ternama Burhan Wani oleh pasukan keamanan Juli 2016 lalu.

Aksi kekerasan terakhir terjadi pada 9 April 2017, ketika itu delapan orang tewas dan sejumlah lainnya terluka akibat polisi bentrok dengan pemrotes saat pemilihan di kota Srinagar.

Sejak itu, ratusan siswa protes turun ke jalan. Mereka meneriakkan slogan anti-India dan melemparkan batu ke pasukan keamanan.

Kemudian beredar video grafis yang mengklaim sebagai rekaman aksi pelecehan di kedua kubu dan semakin memicu memanasnya konflik tersebut.

Dalam beberapa pekan terakhir, banyak sekolah dibakar dan polisi mengatakan tiga politisi telah dibunuh oleh orang-orang bersenjata tak dikenal.

Kashmir dengan penduduk mayoritas Muslim berada di tengah perselisihan teritorial, yang berlangsung puluhan tahun antara India dan Pakistan.

India menuduh Pakistan mendukung sentimen separatis di Kashmir, namun Islamabad membantahnya. Kedua negara mengklaim Kashmir secara keseluruhan dan mengendalikan bagian-bagian yang berbeda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya