Hacker Rusia Retas Rumah Sakit, Ganggu Operasi Otak Pasien Anak

Pasien berusia 13 tahun di Rusia menjalani operasi bedah otak tanpa perangkat medis karena sistem komputer rumah sakit diretas.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jul 2018, 09:09 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2018, 09:09 WIB
Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Liputan6.com, Siberia - Seorang gadis berusia 13 tahun di Tyumen, Siberia, Rusia terpaksa menjalani operasi bedah otak tanpa perangkat medis karena sistem komputer rumah sakit diretas oleh hacker.

"Itu adalah operasi otak yang sangat rumit. Semua sistem komputer, semua perangkat yang menyertai operasi ini dinonaktifkan," kata CEO Sberbank Herman Gref pada Konferensi Keamanan Siber Internasional.

Gref baru mengetahui peristiwa itu setelah Pusat Bedah Saraf Federal Tyumen meminta bantuan spesialis keamanan siber Sberbank. Demikian seperti dikutip dari RBTH Indonesia, Minggu (8/7/2018).

Pakar keamanan siber Sberbank mengatakan, para hacker menggunakan virus baru yang disebut "Purgen".

Penjahat-penjahat itu meminta sejumlah uang sebagai imbalan untuk memulihkan sistem komputer mereka, kata Gref menjelaskan.

"Dan mereka juga tidak akan ragu untuk memeras rumah sakit lainnya," tambahnya.

Meskipun hacker menyebabkan situasi yang membahayakan tersebut, operasi gadis Rusia itu berjalan lancar, kata Gref.

 

Simak video pilihan berikut:

Hacker China Diduga Meretas Universitas Bergengsi Australia

Hacker
Ilustrasi Hacker (iStockPhoto)

Sementara itu, sejumlah peretas yang berbasis di China telah menyusup ke salah satu universitas paling bergengsi di Australia, dan ancaman tersebut belum terselesaikan. Demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Minggu 8 Juli 2018.

ABC telah menerima informasi bahwa sistem di Universitas Nasional Australia (ANU) pertama kali diserang tahun lalu.

Dalam sebuah pernyataan, ANU mengatakan pihaknya telah bekerja dengan badan-badan intelijen selama beberapa bulan untuk meminimalkan dampak dari ancaman tersebut.

"Universitas telah bekerja dalam kemitraan dengan lembaga pemerintah Australia selama beberapa bulan untuk meminimalkan dampak dari ancaman ini, dan kami terus mencari dan menerima saran dari lembaga pemerintah Australia," kata ANU.

"Pengamatan saat ini menunjukkan tidak ada staf, mahasiswa atau informasi penelitian yang telah diambil dan tindakan penanganan sedang dilakukan."

"Upaya untuk menghentikan aksi para peretas tersebut sedang berlangsung."

Menteri Keamanan Siber Australia, Angus Taylor, mengatakan Pemerintah "mengutuk segala kegiatan jahat" yang menargetkan Australia.

"Kami tahu bahwa negara-negara dan kelompok kriminal secara aktif menargetkan penelitian dan lembaga tersier untuk mencuri kekayaan intelektual pekerja keras Australia," katanya.

"Kegiatan dunia maya yang jahat terhadap kepentingan nasional Australia, baik dari sindikat kriminal atau negara asing, meningkat frekuensi, kecanggihan dan keparahan-nya, dan prioritas tertinggi Pemerintah Australia adalah memastikan warga Australia aman dan kepentingan kami aman."

Taylor mengatakan, Pusat Keamanan Siber Australia (ACSC) telah mendukung ANU.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya