Pada Usia Ini, Manusia Punya Rasa Percaya Diri Tinggi

Bukan anak-anak ataupun remaja, ini usia sebenarnya ketika manusia menemukan rasa percaya diri yang tinggi.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 24 Agu 2018, 10:01 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2018, 10:01 WIB
Merasa sukses dan bahagia (iStock)
Ilustrasi sukses dan bahagia (iStockphoto)

Liputan6.com, Bern - Banyak orang mengatakan bahwa obsesi terbesar manusia saat ini adalah tetap berusia muda, sehingga menjadi tua tak ubahnya sebagai momok.

Namun, sebuah penelitian baru mengatakan setidaknya satu hal menjadi lebih baik saat usia menua, yakni harga diri. Hal itu terungkap dalam sebuah makalah ilmiah terbaru dalam jurnal Psychological Bulletin, menyebut usia 60 sebagai tahap di mana seseorang menemukan kepercayaan diri terbaik.

"Usia paruh baya adalah, bagi banyak orang dewasa, dinilai sebagai masa kehidupan yang sangat stabil, seperti tentang hubungan dan pekerjaan. Selain itu, kebanyakan orang di rentang usia ini lebih berinvestasi pada peran sosial, yang mungkin mempromosikan harga diri mereka," kata Ulrich Orth, seorang profesor psikologi di University of Bern di Swiss, sebagaimana dikutip dari Time.com pada Kamis (23/8/2018).

"Misalnya, orang mengambil peran manajerial di tempat kerja, mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan, dan membantu anak-anak mereka menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan mandiri," lanjutnya menjelaskan.

Para peneliti mendasarkan analisis mereka pada 191 artikel penelitian tentang harga diri pada manusia, yang termasuk data dari hampir 165.000 orang.

Mereka berangkat untuk menyajikan tampilan paling komprehensif, namun pada bagaimana harga diri berubah seiring bertambahnya usia. Mereka juga memeriksa sejumlah demografi dan kelompok usia yang berbeda.

Harga diri pertama mulai meningkat antara usia 4 dan 11, ketika anak-anak berkembang secara sosial dan kognitif, hingga mendapatkan rasa kebebasan.

Tingkat selanjutnya disebut selalu berada di area puncak, dan hampir tidak pernah menurun. Masa itu adalah tahun-tahun remaja, yang membentang pada usia 11 hingga 15.

Namun, satu hal yang mengejutkan adalah ilmuwan salah mengira tentang tingkat harga diri pada usia remaja, yang justru cenderung menurun saat memasuki masa pubertas.

Sebaliknya, menurut penelitian terkait, harga diri tampak tetap stabil sampai pertengahan masa remaja. Setelah itu mengalami jeda, hingga kembali meningkat saat memasuki usia kepala tiga.

"Kemudian (harga diri) bertahap merangkak naik di masa dewasa tengah (30-40 tahun), sebelum memuncak sekitar usia 60 dan tetap stabil sampai usia 70," jelas Orch.

Setelah periode ini, data Orth menunjukkan bahwa banyak manusia dewasa mengalami penurunan harga diri, mulai dari sekitar usia 70, dan menjadi lebih signifikan saat mendekati usia 90 tahun.

"Usia tua sering melibatkan hilangnya peran sosial sebagai akibat dari pensiun, perasaan kosong, dan, mungkin hidup tanpa pasangan, yang semuanya merupakan faktor yang dapat mengancam harga diri," pungkas Orth.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Bahaya Berusaha Terlihat Bahagia

Ilustrasi Bahagia
Ilustrasi Bahagia. (AFP via huffingtonpost.com)

Sementara itu, ada penelitian baru lainnya yang turut membahas tentang rasa percaya diri pada manusia. Diterbitkan dalam jurnal Emotion, studi terkait menyebut bahwa jika seseorang berupaya terlihat bahagia, maka bisa membuatnya cenderung terobsesi dengan kegagalan dan emosi negatif.

"Kebahagiaan adalah hal yang baik, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib dicapai justru membuatnya kerap gagal," jelas salah satu penulis penelitian itu, Brock Bastian, seorang psikolog sosial di University of Melbourne School of Psychological Sciences di Australia.

Dikutip dari Time.com, peneliti juga menyebut bahwa ketika seseorang menempatkan tekanan besar pada diri untuk merasa bahagia, atau berpikir bahwa orang lain di sekitar terlihat emosional dalam memandang pengalaman negatif, maka mereka akan cenderung lebih banyak mengirim sinyal kegagalan yang berujung pada sikap depresif.

Hal ini dijelaskan bukan sebagai "kutukan" untuk mencoba bahagia, melainkan sebaliknya untuk menggarisbawahi pentingnya mengetahui dan menerima bahwa perasaan tidak bahagia terkadang normal dan sehat.

"Kita sebagai manusia telah berevolusi untuk mengalami serangkaian keadaan emosional yang kompleks, dan sekitar setengahnya tidak menyenangkan. Ini tidak berarti hal tersebut kurang berharga, atau membuatnya mengurangi kualitas hidup kita," jelas Bastian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya