Dua Tahun Beralih Mendukung China, Filipina Mengaku Belum Dapat Manfaat

Filipina disebut belum memiliki manfaat sedikitpun dari dua tahun dukungannya terhadap peran China di Asia Pasifik.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 20 Nov 2018, 07:31 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2018, 07:31 WIB
Presiden Filipona Rodrigo Duterte (kiir) berjalan berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping (kanan) di Beijing. (AP/Ng Han Guan)
Presiden Filipona Rodrigo Duterte (kiir) berjalan berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping (kanan) di Beijing. (AP/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Manila - Dua tahun setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan "perceraian" dengan sekutu lama Amerika Serikat (AS), sebagai imbalan hubungan bisnis baru dengan China, negara itu mengaku belum mendapat manfaatnya.

Duterte mendapat komitmen pinjaman dari Beijing senilai US$ 24 miliar (setara Rp 349 triliun) pada 2016, di mana China berjanji melakukan investasi pada perbaikan infrastruktur setempat.

Dikutip dari Channel News Asia pada Senin (19/11/2018), komitmen tersebut disepakati beberapa pekan setelah Filipina mengaku "diperlakukan seperti anjing" oleh Washington, dan menyatakan lebih baik berhubungan dengan China.

Tetapi hanya sebagian kecil komitmen Beijing telah terwujud, yang membuat Duterte melancarkan kritik yang dikaitan dengan kemungkinan China mengancam kedaulatan Filipina di Laut China Selatan.

Para pengamat memperkirakan Duterte akan mendesak China untuk menepati janji investasinya ketika Xi Jinping berkunjung ke Filipina, pekan ini.

Menteri Anggaran Filipina Benjamin Diokno mengatakan bahwa akan tidak masuk akal untuk mengharapkan semua janji China terpenuhi dalam jangka dua tahun, tetapi para pejabat berharap campur tangan Xi bisa membantu.

"Kami sangat optimis dengan keinginan ini, kepala negara mereka, akan menekan birokrasi Beijing untuk mempercepat proses pencarian dana," katanya pekan lalu.

Program infrastruktur "Membangun, Bangun, Bangun" dari Duterte, yang merupakan inti dari strategi ekonominya, melibatkan 75 proyek utama yang setengahnya diperuntukkan bagi pinjaman, hibah atau investasi China.

Namun menurut dokumen pemerintah Filipina yang tersedia untuk publik, hanya tiga dari seluruh rencana investasi, yakni dua jembatan dan fasilitas irigasi senilai gabungan US$ 167 juta (Rp 2,4 triliun), yang baru dibangun.

Sisanya, termasuk tiga proyek kereta, tiga jalan raya dan sembilan jembatan, berada di berbagai tingkat perencanaan dan penganggaran, atau menunggu persetujuan pemerintah China untuk pendanaan, atau pencalonan kontraktor yang ditunjuk Beijing.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Posisi Duterte Dipertaruhkan

Rodrigo Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberi tahu puluhan polisi yang berada di hadapannya bahwa mereka akan diawasi. (Ted Aljibe/AFP)

Rodrigo Duterte diketahui sering memuji China, dan mengakui "cinta" nya untuk Xi Jinping. Dia bahkan bercanda menawarkan negaranya ke Beijing sebagai "provinsi Tiongkok".

Selain itu, banyak rakyat Filipina, terutama dari kalangan hukum dan diplomat internasional, marah dengan penolakan Duterte untuk mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) 2016, yang menggugurkan klaim Beijing atas sebagian besar wilayah di Laut China Selatan.

Sebaliknya, Duterte mencari kesepakatan dengan China untuk bersama-sama mengeksplorasi gas lepas pantai di Reed Bank yang disengketakan, karena kaya akan sumber daya dan strategis.

Duterte juga berbeda pendapat dengan negara-negara Asia Tenggara yang mengambil sikap bersatu melawan militerisasi China, yang kembali digalakkan pada pertemuan puncak regional pekan lalu.

Bahkan, Duterte memperingatkan rekan-rekan setingkat regional agar tidak menimbulkan gesekan, karena Laut China Selatan "kini berada di tangan (Beijing)".

Para pengamat mengatakan jika Duterte tidak dapat menunjukkan dividen ekonomi dari dukungannya terhadap China, maka hal itu dapat melemahkan pengaruhnya menjelang pemilihan paruh waktu 2019, yang mungkin menentukan keberhasilan atau kegagalan pemerintahannya.

Untuk mendapatkan kesempatan menyampaikan agenda kebijakannya, Duterte membutuhkan sekutu-sekutunya untuk memimpin mayoritas di Kongres dan Senat, guna memastikan bahwa target kunci diloloskan untuk memungkinkan reformasi yang menghasilkan pendapatan, menarik investasi dan menciptakan pekerjaan berkualitas lebih tinggi.

"Jika setelah kunjungan Xi Jinping, masih belum ada langkah besar oleh China untuk berinvestasi di Filipina, jika militerisasi dan reklamasi China akan terus berlanjut, Anda akan memiliki situasi di mana Duterte akan berada di bawah tekanan ekstrem," kata Richard Heydarian, analis pertahana dan keamanan yang berbasis di Manila.

"Pihak oposisi akan menggunakan situasi itu untuk menjerat Duterte dan sekutunya, lantas menyerangnya sebagai antek-antek China," lanjutnya memperingatkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya