Oposisi Taiwan Menang Pemilu Paruh Waktu, Sinyal Kedekatan dengan China?

Usai kekalahan pada pemilu paruh waktu, pemimpin partai pemerintah, Presiden Tsai Ing-wen, mundur dari jabatan ketua partai.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Nov 2018, 17:31 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2018, 17:31 WIB
Tsai Ing-wen, presiden wanita pertama Taiwan yang disumpah pada Mei 2016
Tsai Ing-wen, presiden wanita pertama Taiwan yang disumpah pada Mei 2016 (AP Photo/Chiang Ying-ying)

Liputan6.com, Taipei - Partai oposisi Taiwan, Kuomintang, berhasil memenangi pemilu paruh waktu (mid-term election) setelah berhasil mengalahkan partai pemerintah pada akhir pekan ini.

Ini memberikan sinyal bahwa publik dan politik Negeri Formosa mulai mengambil haluan untuk menjalin hubungan yang bersahabat dengan China --bertentangan dengan visi Presiden Tsai Ing Wen dan partai yang memerintah, Democartic Progresive Party (DPP).

DPP menderita kekalahan besar pada hari Sabtu, sementara partai oposisi, Kuomintang, mengambil alih dan mempertahankan kontrol dengan menguasai total 15 kota dan kabupaten, meninggalkan DPP dengan hanya enam wilayah elektoral, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Minggu (25/11/2018).

Merespons kekalahan partainya dalam pemilu paruh waktu, Presiden Tsai Ing-wen --yang telah memiliki hubungan tegang dengan Beijing sejak pemilihannya pada tahun 2016-- mengundurkan diri sebagai ketua DPP pada 23 November. Pengunduran diri Tsai juga terjadi kurang dari satu tahun sebelum pemilihan presiden 2019.

Walikota terpilih Kaohsiung dari partai Kuomintang memberikan sinyal pergeseran arah hubungan Taiwan yang mulai mendekati China, dengan secara langsung menghubungi pemerintahan Tiongkok di Beijing untuk mengatakan bahwa kedua pemerintahan akan membentuk kelompok kerja guna meredakan ketegangan dan penghalang antara kedua wilayah.

Kuomintang telah mengirim delegasi ke Tiongkok sejak Tsai menduduki kursi presiden, di mana partai oposisi itu telah diterima dengan hangat.

Di sisi lain, sejak Tsai menjabat, China menolak memiliki kontak langsung dengan pemerintahan sang presiden.

China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari provinsinya yang 'membelot', mengatakan bahwa hasil mid-term 2018 menunjukkan orang-orang Formosa menginginkan hubungan damai dengan Beijing.

"Hasilnya mencerminkan kemauan yang kuat dari masyarakat Taiwan dengan harapan untuk terus berbagi manfaat dari pengembangan hubungan damai di Selat Taiwan, dan keinginan kuat mereka dalam berharap untuk meningkatkan ekonomi pulau dan kesejahteraan masyarakat," kata pernyataan oleh Kantor Urusan Taiwan, badan pemerintah China,

Dewan Urusan Hubungan China Daratan-Taiwan --badan pemerintah Taiwan-- mengatakan bahwa China harus menghormati urusan internal dan demokrasi Taiwan, serta tidak "menafsirkan harapan rakyat Taiwan terhadap hubungan di selat Taiwan".

Dalam sebuah peringatan implisit kepada China untuk tidak menghubungi pejabat Kuomintang yang baru terpilih, dewan itu mengatakan pendekatan politik Tiongkok yang sengaja dilakukan kepada pemerintah lokal dan orang-orang tidak akan membantu "interaksi positif" dengan Taiwan.

China curiga bahwa Tsai menginginkan kemerdekaan resmi, menyulut kemarahan Beijing yang menganggap Taiwan sebagai miliknya.

Tsai mengatakan dia hanya menginginkan status quo dengan China, tetapi akan membela keamanan Taiwan. Undang-undang Tiongkok mengamanatkan penggunaan kekuatan untuk mencegah pulau itu memisahkan diri dan menjadi negara yang berdaulat penuh.

Ketegangan di Selat Taiwan telah meningkat, dengan China melakukan latihan militer di sekitar pulau dan merenggut jumlah sekutu diplomatik Taiwan yang berkurang.

Sekretaris Jenderal DPP Hung Yao-fu, menjawab pertanyaan pada Sabtu tentang apakah faktor China telah memainkan peran dalam mempengaruhi pemilihan, menegaskan kembali bahwa ada masalah dengan "berita palsu".

"Saya pikir kali ini adalah pelajaran yang mendalam, dalam hal berita palsu mengacaukan banyak penilaian orang atau tidak mendapatkan informasi yang jelas," katanya kepada wartawan.

"Ini masalah global bukan hanya masalah unik Taiwan."

 

Simak video pilihan berikut:

 

Tensi China-Taiwan

Ilustarsi bendera Taiwan (AFP/Mandy Cheng)
Ilustarsi bendera Taiwan (AFP/Mandy Cheng)

Hubungan Lintas Selat atau Cross-strait relation (label yang diberikan untuk mengidentifikasi relasi Taiwan-China) mencapai titik terburuknya sejak Presiden Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik Taiwan menolak kebijakan Satu China atau One-China Policy dari Tiongkok.

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, Beijing menggaungkan konsep One-China Policy sebagai upaya untuk menyerap kembali Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok.

Bahkan, muncul kekhawatiran kalau China mungkin akan mencapai tujuan itu dengan memilih opsi militer.

Akibatnya, Taiwan menghentikan pembicaraan dan pertukaran dengan China. Di sisi lain, Tiongkok membalas dengan mengintensifkan kehadiran militernya di dekat laut Taiwan.

Tetapi, Tsa Ing-wen tetap dapat mencegah Negeri Tirai Bambu semakin mendekat, berkat bantuan Amerika Serikat yang mengkhawatirkan bahwa 'jatuhnya' Taiwan ke tangan Tiongkok menjadi gerbang bagi Beijing untuk semakin memperluas pengaruhnya ke Laut China Selatan dan kawasan Asia Pasifik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya