Liputan6.com, Libreville - Kepala militer pemberontak yang memimpin kudeta gagal di Gabon pada Senin 7 Januari 2019, telah ditangkap oleh aparat pro-pemerintah.
Aparat juga berhasil menewaskan dua anggota tentara yang ambil bagian dalam upaya kudeta gagal tersebut.
Sebelumnya, personel tentara yang menamai diri mereka Gerakan Patriotik Pertahanan dan Pasukan Keamanan Gabon mengambil alih stasiun radio nasional pada 7 Januari 2019 dan mengumumkan pembentukan "dewan restorasi" --menandai upaya kudeta. Namun, aksi itu tampaknya telah berhasil dinetralisir oleh pemerintah.
Advertisement
"Situasi di bawah kendali", ujar juru bicara pemerintah Guy-Bertrand Mapangou seperti dikutip dari France24, Selasa (8/1/2019), menggambarkan kudeta yang gagal itu sebagai "sebuah peristiwa remeh".
Baca Juga
"Pemerintah dan lembaga-lembaga berfungsi normal, dan orang-orang menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa," kata Mapangou, seraya menambahkan bahwa empat dari lima pemberontak telah ditangkap dan yang kelima sedang "dalam pelarian".
Sebelumnya pada Senin, seorang koresponden AFP melaporkan bahwa ada tembakan di dekat stasiun radio di pusat Libreville, ibu kota negara kaya minyak itu, dengan kendaraan militer menghalangi akses ke kantor stasiun radio nasional.
Dalam sebuah pesan radio yang disiarkan pada pukul 03.30 GMT, tentara pemberontak menyerukan rakyat Gabon untuk memberontak melawan Presiden Ali Bongo Ondimbo (59) yang sakit, namun telah pulih dari serangan stroke dan kini menjalani perawatan di Maroko.
Sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan para prajurit - yang menggambarkan diri mereka sebagai Gerakan Patriotik Pasukan Pertahanan dan Keamanan Gabon - mengenakan seragam militer dan baret hijau ketika mereka membacakan pernyataan mereka.
"Jika Anda makan, berhentilah; jika Anda minum, berhentilah; jika Anda tidur, bangun. Bangunkan tetangga Anda ... bangkitlah, bersatu dan kendalikan jalan," kata Letnan Kelly Ondo Obiang lewat siara radio nasional.
Juru bicara pemerintah kemudian menyebut Letnan Ondo Obiang sebagai prajurit buron.
Ketua Uni Afrika Moussa Faki Mahamat "sangat mengutuk" percobaan kudeta, menulis di Twitter: "Saya menegaskan kembali penolakan total Uni Afrika terhadap semua perubahan kekuasaan yang tidak konstitusional."
Prancis --bekas kolonialis Gabon-- juga mengutuk kudeta militer yang gagal, mendesak hampir 9.000 warga negara Prancis yang terdaftar di konsulat Prancis di Libreville untuk menghindari bepergian keliling ibu kota.
Presiden Bongo dirawat di rumah sakit pada Oktober 2018 di Arab Saudi setelah menderita stroke. Dia telah berada di Maroko sejak November untuk melanjutkan perawatan.
Seorang juru bicara kepresidenan mengatakan bahwa Presiden Bongo akan membuat pernyataan segera.
Dalam pidatonya di Malam Tahun Baru, Presiden Bongo mengakui masalah kesehatan tetapi mengatakan dia sudah mulai pulih.
Dalam ketidakhadirannya, Mahkamah Konstitusi Gabon mengalihkan sebagian kekuasaan presiden kepada perdana menteri dan wakil presiden.
Keluarga Bongo telah memerintah negara penghasil minyak selama hampir setengah abad. Bongo telah menjadi presiden sejak menggantikan ayahnya, Omar, yang meninggal pada tahun 2009. Pemilihannya kembali pada tahun 2016 dinodai oleh klaim penipuan dan protes kekerasan.
Uni Eropa mengatakan mereka menemukan anomali selama pemilihan di provinsi kubu Bongo di Haut-Ogooue, di mana ia memenangkan 95 persen suara pada total 99,9 persen pemilih.
Simak video pilihan berikut:
Ketidakmerataan Ekonomi
Gabon, sebuah negara kecil dengan populasi sekitar dua juta orang, diperkirakan menjadi negara terkaya keempat di Afrika.
Aly-Khan Satchu, seorang ekonom dan analis Afrika, mengatakan Gabon adalah "masyarakat yang sangat tidak setara" dan kemungkinan populasi dan faksi militer lainnya akan mendukung langkah tersebut, dan mencatat pemerintah belum "menjaga warganya".
"Kapten telah keluar dari negara itu selama beberapa bulan, ini adalah serangan pemenggalan kepala yang saya pikir akan sulit bagi keluarga untuk diusir," kata Satchu kepada Al Jazeera. "Akan sangat sulit bagi presiden untuk mendapatkan kembali kendali sementara dia duduk di Maroko."
Dia mengatakan masih harus dilihat apa yang terjadi selanjutnya, tetapi mencatat sekitar 900 tentara Prancis berada di negara itu, warisan dari masa kolonial.
"Apakah Prancis akan menyelamatkan rezim? Saya kira tidak," katanya, sambil menambahkan, "Saya kira orang-orang ini tidak bekerja sendiri. Belum terlihat."
Satchu mengatakan upaya kudeta mencerminkan kecenderungan ketidakpuasan yang lebih luas di Afrika atas para pemimpin yang telah lama berkuasa namun telah gagal untuk memperhatikan kebutuhan rakyat mereka.
"Apa yang kami tonton di seluruh benua ini - apakah itu Gabon, Sudan, atau Republik Demokratik Kongo - adalah semacam titik kritis," katanya.
Advertisement