Liputan6.com, Madrid - Paranoia Perang Dingin, antara Amerika Serikat dan Uni Soviet nyaris memicu bencana nuklir dahsyat. Kala itu, selama beberapa tahun, Komando Udara Strategis Angkatan Udara AS terus-menerus menerbangkan jet bomber di dekat tapal batas negeri Tirai Besi, sebagai bagian dari 'Operation Chrome Dome'.
Setidaknya selusin B-52 berpatroli di angkasa di atas Atlantik dan Eropa sepanjang waktu, masing-masing dengan muatan bom hidrogen yang bersarang di perutnya. Mereka siap melepaskan senjata pemusnah massal tersebut di wilayah Soviet.
Advertisement
Baca Juga
Malam masih pekat saat pesawat B-52G yang dipiloti Charles Wendorf lepas landas dari Pangkalan Udara Seymour Johnson di North Carolina, menggendong empat bom hidrogen tipe B28RI.Â
Rencananya, kapal terbang diarahkan ke timur melintasi Samudra Atlantik, Laut Mediterania menuju perbatasan Uni Soviet di Eropa, lalu kembali ke pangkalan. Rute yang panjang itu membutuhkan dua kali pengisian bahan bakar di udara, di atas langit Spanyol.
Pada 17 Januari 1966, sekitar pukul 10.30, ketika terbang di ketinggian 31 ribu kaki atau 9.450 meter, bomber tersebut melakukan pengisian bahan bakar kedua di udara, di dekat Pangkalan Udara Moron di Spanyol selatan.
B-52 yang haus bahan bakar menyedot muatan pesawat KC-135 Stratotankers. Dua burung besi tersebut saling berdekatan, hanya berjarak beberapa meter. Potensi tabrakan sangat tinggi. Bahaya kian menjadi karena salah satunya mengangkut bom nuklir.
Dan, pada pagi yang cerah itu, di bawah naungan langit biru Mediterania, apa yang dikhawatirkan banyak orang terjadi.
Sang kapten penerbang, Charles Wendorf yang lelah karena perjalanan panjang, meminta stafnya, Mayor Larry Messinger, untuk menangani pengisian bahan bakar.
Messinger, yang memegang kendali, merasakan ada sesuatu yang salah. Saat itu, B-52 mendekati pesawat tanker dari belakang. Namun, jet bomber itu terlalu melaju terlalu cepat.
"Ada prosedur dalam pengisian bahan bakar di udara, jika boom operator (awak tanker) merasa pesawat lain terlalu dekat dan situasinya berbahaya, mereka akan berteriak, 'Break away, break away, break away'," kata Messinger seperti dikutip dari situs AmericanHeritage.com.
Saat itu, kata dia, tak ada sinyal bahaya. Namun, tak lama kemudian situasi tak terkendali.
Bagian atas B-52 menabrak tanker. Perut KC-135 Stratotankers sobek, bahan bakar mengalir mengenai bomber. Sebagian tumpah ke udara.
Kemudian, ledakan dahsyat terjadi. Kobaran api menyelimuti tanker, menewaskan empat orang di dalamnya.
Ledakan kembali terjadi, merobek kedua pesawat menjadi ratusan fragmen yang menyala, menewaskan tiga orang yang berada di bagian ekor B-52.
Sebelum puing-puing membara jatuh ke Desa Palomares di bawahnya, empat orang lainnya di dalam pesawat bomber meloloskan diri dengan kursi lontar.
Kapten Ivens Buchana terbakar bola api sesaat setelah terlontar. Ia jatuh ke tanah, dan entah bagaimana, berhasil selamat.
Sementara, Kapten Charles Wendorf dan Letnan Richard Rooney jatuh ke ketinggian 14.000 kaki, membuka parasut mereka, dan melayang beberapa mil ke laut, di mana mereka diselamatkan oleh para nelayan.
Sementara, Messinger terbawa angin kencang, mendapati dirinya melayang ke laut. Dia akhirnya tercebur sekitar delapan mil dari daratan dan diselamatkan seorang nelayan yang lewat.
Ketika jatuh ke laut, Messinger melihat sesuatu yang aneh. Ada riak berbentuk lingkaran besar di permukaan laut. "Seperti ketika seseorang menjatuhkan sesuatu ke dalam air," kata dia.
Ternyata, itu adalah bom hidrogen berkekuatan nuklir.
Â
Saksikan video pilihan berikut:
Horor Radiasi
Menjelang malam, para tentara AS dikerahkan menyisir Palomares dan area sekitarnya. Mereka tak sedang mencari korban. Mereka yang tewas dan selamat dari musibah itu sudah diketahui, dan tidak ada satu pun warga yang terluka.
Yang mereka cari adalah empat bom hidrogen dari perut B-52. Dalam 24 jam kemudian, hanya tiga yang berhasil ditemukan.
Satu bom hidrogen dinyatakan hilang. Insiden itu dikenal sebagai 'Broken Arrow' -- istilah militer AS untuk senjata nuklir yang hilang. Belakangan senjata itu ditemukan di laut.Â
Bom B28 adalah muatan yang sangat berharga dan mematikan. Masing-masing mengemas daya 1,45 megaton atau sekitar 100 kali dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang. Masing-masing memiliki pemicu utama yang terbuat dari plutonium yang dikelilingi high-explosive lenses berbentuk bola. Jika meledak niscaya reaksi berantai terjadi, yang pada gilirannya akan memicu ledakan termonuklir -- meski kemungkinannya kecil kala itu.
Seperti dikutip dari The Guardian, dua bom hidrogen berhasil diangkat dari laut dalam kondisi utuh. Sementara lainnya membocorkan radiasi ke wilayah pedesaan di sekitarnya ketika detonator berisi plutonium itu meledak -- melepas 3 kilogram plutonium 239 yang sangat radioaktif di sekitar Palomares.
Tak lama setelah kecelakaan tersebut, AS mengirim 1.700 ton tanah yang terkontaminasi ke South Carolina -- setelah itu insiden tersebut sebagian besar dilupakan.
Khawatir insiden Palomares akan menghancurkan industri pariwisata Spanyol yang sedang tumbuh, Manuel Fraga, menteri pariwisata di bawah kepemimpinan Jenderal Franco menggelar kampanye.
Bersama dubes AS, kedua terjun ke laut, berenang, dalam upaya membuktikan keamanan laut itu.
Namun, pada 1990, pengujian mengungkapkan adanya level tinggi americium, produk peluruhan plutonium.
Tak hanya itu, pengujian lebih lanjut menguak bahwa 50.000 meter kubik tanah masih terkontaminasi. Pemerintah Spanyol mengambil alih area tersebut pada tahun 2003 untuk mencegahnya digunakan.
Pada tahun 2006, pusat penelitian energi Spanyol, atau CIEMAT, mengumumkan penemuan siput radioaktif di wilayah terdampak insiden Palomares.Â
Pada Oktober 2015, setelah beberapa tahun negosiasi, pemerintah AS menandatangani pernyataan komitmen untuk membantu Spanyol menyelesaikan proses pembersihan radioaktif di Palomares.
Tak hanya menyingkirkan tanah yang terkontaminasi nuklir di kota itu, kesepakatan itu juga memutuskan agar limbah nuklir dibuang di sebuah situs di Amerika Serikat.
Tak hanya insiden Palomares, sejumlah peristiwa bersejarah juga terjadi pada 17 Januari.Â
Pada 1773, Kapten James Cook memulai ekspedisi pertamanya berlayar ke selatan menuju Lingkar Antartika.
Sementara, pada 1995 terjadi Gempa Besar Hanshin -- lindu berkekuatan 7,2 terjadi dekat Kobe, Jepang, menewaskan lebih dari 6.000 jiwa dan menyebabkan kerugian yang nilainya melebihi US$ 100 miliar.
Advertisement