Ahli Ungkap Alasan Mengapa Ular Tidak Mati Oleh Racunnya Sendiri

Anda tak perlu penasaran. Sebab, Rebecca D Tarvin, seorang ahli biologi dari Texas University memberikan jawaban mengapa ular tak mati oleh racunnya.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 20 Mar 2019, 19:05 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2019, 19:05 WIB
Saking Hausnya, Ular Ini Jinak Saat Diberi Minum Pakai Gelas
Ilustrasi ular (pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak dari Anda yang mungkin penasaran, mengapa ular tidak mati setelah menelan mangsa yang baru saja ia gigit dengan bisanya?

Pertanyaan ini memang kerap muncul di kepala. Namun, Anda tak perlu penasaran. Sebab, Rebecca D Tarvin, seorang ahli biologi dari Texas University memberikan jawabannya.

Dikutip dari laman Ted Ed, Rabu (20/3/2019), Rebecca menjelaskan jika sejumlah hewan berbisa termasuk ular menyimpan racunnya dengan aman pada empat yang cuma memiliki satu pintu keluar.

Pintu keluar dari bisa (racun) itu adalah taring. Hal yang tak kalah penting mengapa ular juga tak mati saat menelan mangsanya karena ia mampu menciptakan biokimia yang resistan terhadap bisanya.

Contoh kasusnya adalah ular derik. Ular jenis itu mampu menghasilkan protein khusus guna mengikat dan menonaktifkan komponen racun dalam darah.

Oleh karenanya saat mengonsumsi hewan yang dibunuh sebelumnya, tubuh ular mampu membedakan bisa atau racun di tubuh mangsa.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Ular Mengigit Tanpa Buka Mulut

Ular Piton
Ilustrasi Foto Ular Piton (iStockphoto)

Belum lama ini para ahli dari Natural History Museum, Berlin, Jerman, telah menemukan spesies ular baru yang hidup tersembunyi di hutan yang selalu hijau di Guinea dan Liberia (Afrika Barat). Temuan ini disebut mampu membunuh dengan memasukkan racun ke dalam tubuh mangsa atau musuhnya tanpa harus membuka mulut.

Ini adalah keterampilan unik yang hanya dimiliki oleh ular stiletto. Binatang berbisa ini mempunyai taring panjang yang dapat menempel dan keluar dari sudut mulut mereka, sehingga memungkinkan makhluk tersebut untuk menusukkan bisa melalui sisi pinggir mulut tanpa diketahui predator.

Para ilmuwan menyebut, untuk mengambil dan meletakkan ular stiletto membutuhkan trik khusus. Ketika para peneliti pertama kali menemukan spesies nokturnal Liberia ini, merayap di sepanjang lereng gelap hutan yang hijau, mereka mencoba untuk menerapkan cara umum saat memegang ular: mencengkeram kepala bagian belakang dengan jari-jari tangan.

Namun itu ternyata bukan ide terbaik. "Dengan posisi ini, ular tersebut berulang kali mencoba menyerang," tulis para penulis, seperti dikutip dari Science Alert.

"Entah itu mencoba bergerak perlahan menjauh dari pengamatan manusia atau tiba-tiba melilit dan melingkar, mirip dengan ular serigala dari genus Lycophidion," imbuh mereka.

Racun ular stiletto berpotensi sitotoksik atau merusak sel, menyebabkan nyeri hebat, bengkak, melepuh, dan bahkan kerusakan jaringan besar. Tanpa racun pun, korban bahkan dapat kehilangan jari mereka atau diamputasi.

Tim peneliti lalu melanjutkan untuk mengumpulkan dua spesimen lagi, yang ditemukan di antara perkebunan kopi dan pisang di Guinea tenggara, berjarak sekitar 27 kilometer (16,7 mil) dari tempat riset pertama.

Secara bersamaan, ketiga spesimen digambarkan oleh para peneliti sebagai ular bertubuh ramping, dengan badan yang cukup kuat dan kepala bulat. Spesies baru ini kemudian diberi nama Atractaspis branchi atau ular stiletto Branch.

Untuk sekarang, ketiga spesies digabungkan dengan setidaknya 21 ular stiletto lain yang umum diketahui. Faktanya, para peneliti berpikir ular stiletto Branch sebenarnya adalah endemik hutan hujan Guinea bagian atas (Upper Guinea).

Penemuan ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan pusat keanekaragaman hayati yang kaya dan endemik.

"Masih diperlukan survei lebih lanjut untuk mengetahui kisaran spesies ular baru, dan untuk mengumpulkan lebih banyak informasi tentang kebutuhan ekologis dan sifat biologisnya," tulis para penulis.

Makalah ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah Zoosystematics and Evolution.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya