Liputan6.com, Houston - Sebuah meteor meledak di atas Laut Bering pada 18 Desember 2018. Insiden itu lolos dari deteksi teleskop di Bumi, termasuk versi canggih yang dimiliki Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Untungnya, insiden tersebut terjadi di wilayah terpencil tanpa penghuni, sehingga tak menghadirkan bahaya bagi manusia.
Advertisement
Baca Juga
Menurut NASA, meteor di atas Laut Bering diperkirakan berdiameter 10 meter dan beratnya mencapai 1.500 ton. Batu angkasa itu sebesar itu lolos dari atmosfer saat melaju dengan kecepatan mencapai 115.200 kilometer per jam dan meledak di ketinggian 25 kilometer di atas permukaan laut.
Kekuatan ledakannya setara 173 kiloton TNT atau 10 kali lipat energi bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima, Jepang di penghujung Perang Dunia II.
Dua instrumen pada satelit Terra milik NASA, Moderate Resolution Imaging SpectroRadiometer (MODIS) dan Multi-angle Imaging SpectroRadiometer (MISR), menangkap penampakan ledakan tersebut.
Jejak meteor digambarkan sebagai bayangan gelap berupa garis. Sementara warna oranye di bawahnya muncul dari udara super panas yang diciptakan oleh ledakan.
Menurut NASA, seperti dikutip dari situs sains LiveScience pada Senin (25/3/2019), bola api yang dipicu ledakan meteor tersebut adalah yang terbesar yang teramati sejak 2013. Namun, hal tersebut tak menimbulkan ancaman bagi manusia karena insiden tersebut terjadi di wilayah tak berpenghuni.
Ledakan serupa pernah terjadi di atas Laut Bone pada 2009 lalu.
Meteor Bone
Pada 8 Oktober 2009 sekitar pukul 11.00 Wita, suara ledakan keras mengagetkan masyarakat Bone, Sulawesi Selatan. Kala itu penyebabnya masih misterius, sejumlah spekulasi beredar: akibat gempa, meteorit, pesawat jatuh, hingga latihan rutin Sukhoi.
Baru 19 hari kemudian, tepatnya 27 Oktober 2009 dipastikan, ledakan tersebut dipicu meteor yang lolos dari atmosfer.
Menurut perkiraan NASA, meteor yang meledak di Bone berdiameter 10 meter dengan kekuatannya tiga kali bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima atau setara 50 ribu ton TNT.
Menurut ahli astronomi, Peter Brown dari University Western Ontario, Canada, kehancuran tak terjadi karena meterorit itu meledak pada ketinggian 15 sampai 20 kilometer di atas permukaan Bumi.
Meski tak menimbulkan korban, apa yang terjadi di Bone termasuk sembilan tonggak sejarah astronomi penting dunia yang terjadi pada 2009.
Seperti dimuat laman Telegraph, 27 Oktober 2009, insiden Bone telah memicu kekhawatiran tentang pertahanan planet bumi terhadap potensi benturan dengan benda-benda langit, termasuk meteor, terutama dengan ukuran yang lebih kecil yang tidak terpantau teleskop.
Meteor Chelyabinsk dan Tunguska
Batu angkasa jarang menghadirkan bahaya langsung untuk manusia yang menghuni Bumi. Hingga kini belum ada manusia yang dinyatakan meninggal dunia akibat insiden yang melibatkannya.
Meski demikian, batu angkasa kadang-kadang mendatangkan masalah. Insiden paling dramatis baru-baru ini adalah meteor Chelyabinsk yang meledak di atas langit Rusia pada ketinggian 29,7 km di atas permukaan tanah.
Meteor tersebut diperkirakan berukuran diameter 20 meter, dua kali dari batu angkasa yang meledak di atas Laut Bering.
Kekuatan ledakannya mencapai 400 hingga 500 kiloton TNT. Gelombang kejut yang dihasilkannya melukai 1.000 orang, 112 di antaranya cedera serius hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Kebanyakan terluka akibat pecahan kaca yang menghambur akibat ledakan. Beberapa mengalami sakit pada mata atau luka bakar ultraviolet dari cahaya yang kuat dan panas intens.
Ledakan meteor Chelyabinsk adalah yang terbesar yang pernah menyelonong masuk ke atmosfer, setelah batu angkasa yang memicu Insiden Tunguska pada 1908.
Pada 30 Juni 1908, sebuah meteor meledak sekitar 10 mil atau lebih di atas Siberia Timur, meratakan ratusan mil persegi hutan yang ada di sana.
Tidak jelas seberapa besar meteor Tunguska itu, tetapi berdasarkan perkiraan, setidaknya tiga kali ukuran meteor Chelyabinsk.
Advertisement