Mendapat Ancaman, Warga Muslim Sri Lanka Berbondong-bondong Mengungsi

Ketegangan komunal, terutama yang diarahkan kepada kelompok muslim minoritas, dilaporkan berkobar di Sri Lanka dalam beberapa hari terakhir usai teror bom 21 April 2019.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Apr 2019, 16:50 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2019, 16:50 WIB
99 Orang Tewas dalam Ledakan Gereja dan Hotel di Sri Lanka
Prajurit Angkatan Darat Sri Lanka mengamankan sekitar Gereja St Anthony Shrine usai ledakan di Kochchikade, Kolombo, Sri Lanka, Minggu (21/4). Menurut laman News18 dikutip pada Minggu (21/4/2019), saat ini terdapat sekitar 450 orang yang telah dibawa ke rumah sakit. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Liputan6.com, Kolombo - Ketika pelayat menguburkan jasad korban yang terbunuh oleh serangan bom bunuh diri hari Minggu Paskah di Sri Lanka, ratusan warga muslim melarikan diri dari Negombo di pantai barat negara itu, di mana ketegangan komunal dilaporkan berkobar dalam beberapa hari terakhir.

Setidaknya 359 orang tewas dalam serangkaian ledakan terkoordinasi yang menargetkan gereja dan hotel.

Para pemimpin gereja percaya jumlah korban tewas dari serangan terhadap Gereja St Sebastian di Negombo bisa mencapai sekitar 200 orang, membuat lokasi itu menjadi tempat serangan yang paling mematikan dari enam yang hampir bersamaan melanda Negeri Ceylon pada 21 April 2019 lalu.

Pada Rabu 24 April 2019, ratusan muslim Pakistan meninggalkan Negombo, wilayah multi-etnis sekitar satu jam di utara Kolombo.

Mereka menjejalkan diri ke dalam bus yang diorganisir oleh para pemimpin masyarakat dan polisi, memutuskan pergi karena khawatir akan keselamatan mereka setelah ancaman balas dendam dari penduduk setempat.

"Karena teror bom dan ledakan yang terjadi di sini, orang-orang Sri Lanka setempat telah menyerang rumah-rumah kami," Adnan Ali, seorang muslim Pakistan, mengatakan kepada Reuters ketika ia bersiap untuk naik bus.

"Saat ini kita tidak tahu ke mana kita akan pergi," lanjutnya, seperti dikutip dari NDTV, Kamis  (25/4/2019).

ISIS telah mengklaim bertanggungjawab atas serangan, namun kendatipun kelompok itu adalah kelompok Sunni, banyak muslim yang melarikan diri dari Negombo adalah anggota komunitas Ahmadiyah.

Mereka sendiri merupakan penyintas konflik komunal di Pakistan, yang telah diburu keluar dari tanah kelahirannya sejak bertahun-tahun lalu setelah komunitas mereka dinyatakan kafir oleh kelompok Sunni lokal.

Dampak dari serangan Minggu 21 April 2019 tampaknya akan membuat mereka kehilangan tempat tinggal sekali lagi.

Farah Jameel, seorang Ahmadi Pakistan di Sri Lanka, mengatakan dia telah terusir dari rumahnya oleh induk semangnya.

"Ia mengatakan, 'pergi dari sini dan pergi ke mana pun Anda ingin pergi, tetapi jangan tinggal di sini'," akunya kepada Reuters.

Farah berkumpul dengan banyak orang lain di masjid Ahmadiyah di Negombo, menunggu bus untuk membawa mereka ke lokasi yang aman.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tidak Punya Apa-Apa Sekarang

99 Orang Tewas dalam Ledakan Gereja dan Hotel di Sri Lanka
Ambulans terlihat di luar Gereja St Anthony's Shrine setelah ledakan di Kochchikade, Kolombo, Sri Lanka, Minggu (21/4). Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena menyatakan mengatakan bahwa investigasi tengah berlangsung. (ISHARA S. KODIKARA/AFP)

Pemerintah Sri Lanka dalam kekacauan atas kegagalan untuk mencegah serangan, meskipun ada peringatan berulang dari sumber-sumber intelijen.

Polisi telah menahan sejumlah orang yang identitasnya masih dirahasiakan di Sri Lanka barat, tempat kerusuhan anti-Muslim pada 2014. Penggerebekan juga dilakukan di lingkungan sekitar Gereja St Sebastian.

Aparat tak menilai serius ancaman dari para pengungsi, tetapi mengatakan mereka telah dibanjiri dengan panggilan telepon dari penduduk lokal yang mencurigai komunitas Pakistan di Negombo.

"Kita harus mencari rumah jika orang mencurigai," kata Herath BSS Sisila Kumara, petugas yang bertanggung jawab di kantor polisi Katara, di mana 35 orang Pakistan yang berkumpul di masjid dibawa ke tahanan polisi untuk perlindungan mereka sendiri, sebelum dikirim ke lokasi yang dirahasiakan.

"Semua orang Pakistan telah dikirim ke rumah-rumah aman," katanya. "Hanya mereka yang akan memutuskan kapan mereka kembali."

Dua kilometer jauhnya, salib kayu menandai kuburan baru di pemakaman berpasir di Gereja St Sebastian, saat pemakaman terakhir pada hari Rabu menjadikan jumlah yang terkubur di sana menjadi 40 jenazah.

Channa Repunjaya (49) ada di rumah ketika dia mendengar tentang ledakan di St Sebastian. Istrinya, Chandralata Dassanaike dan putrinya Meeranhi (9) meninggal.

"Saya merasa ingin bunuh diri ketika saya mendengar bahwa mereka telah meninggal," katanya. "Aku tidak punya apa-apa sekarang."

Nenek Meeranhi, dengan kepala masih dibalut setelah terluka dalam serangan itu, disangga oleh seorang kerabat ketika segenggam pertama bumi tersebar di peti mati seukuran anak-anaknya.


Seruan untuk Tetap Hidup Berdampingan

Otoritas keamanan Sri Lanka berjaga-jaga di area sekitar lokasi teror bom beruntun di ibu kota Kolombo (AP Photo)
Otoritas keamanan Sri Lanka berjaga-jaga di area sekitar lokasi teror bom beruntun di ibu kota Kolombo (AP Photo)

Sebagian besar dari 22 juta penduduk Sri Lanka beragama Budha, tetapi penduduk pulau Samudra Hindia memiliki komunitas minoritas Muslim, Hindu, dan Kristen. Sampai sekarang, sebagian besar orang Kristen berhasil menghindari yang terburuk dari konflik dan ketegangan komunal di pulau itu.

Ada tanda-tanda dari beberapa komunitas agama berkumpul bersama setelah kemarahan hari Minggu.

Para biksu Buddha berjubah kirmizi dan merah tua dari sebuah biara di dekatnya membagikan air botolan kepada para pelayat yang berkumpul di bawah terik matahari sore.

Tetapi kota itu, yang memiliki sejarah panjang melindungi pengungsi - termasuk mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat tsunami dahsyat pada 2004 - mungkin berjuang untuk pulih dari kekerasan hari Minggu, kata Pastor Jude Thomas, salah satu dari puluhan imam Katolik yang menghadiri pemakaman hari Rabu.

"Muslim dan Katolik hidup berdampingan," katanya. "Itu (Sri Lanka) selalu merupakan daerah yang damai, tetapi sekarang hal-hal telah muncul ke permukaan yang tidak dapat kita kendalikan."

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya