Perseteruan AS dan Iran Kian Memanas Pasca-Trump Jatuhkan Sanksi Baru

Sanksi terbaru dari Donald Trump menyebabkan perseteruan antara Amerika Serikat dan Iran kian memanas.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 09 Mei 2019, 11:11 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2019, 11:11 WIB
Kapal Perang AS
Petugas mengecek Lambung kiri kapal perang USS John S. McCain usai tabrakan dengan kapal tanker Alnic MC berbendera Liberia di Selat Malaka, sebelah timur Singapura, (21/8). (AFP Photo/Roslan Rahman)

Liputan6.com, Teheran - Amerika Serikat (AS) mengumumkan sanksi baru yang keras terhadap Iran, di mana memicu ketegangan meningkat di antara kedua negara, dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif pada Rabu 8 Mei, untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran dalam industri baja, aluminium, tembaga, dan besi, yang merupakan pendapatan mata uang asing paling utama bagi lumpuhnya perekonomian Teheran.

Dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (9/5/2019), Trump juga mengancam tindak lanjutan yang lebih keras, kecuali Iran "secara fundamental" mengubah perilakunya.

Langkah itu dilakukan setelah Iran sebelumnya mengatakan pihaknya akan menghentikan bagian dari perjanjian nuklir 2015, yang ditinggalkan AS pada 2018 dan memicu krisis saat ini.

Menurut Gedung Putih dalam sebuah pernyataan, sektor logam adalah sumber pendapatan ekspor non-minyak terbesar bagi Iran, yang menyumbang sekitar 10 persen dari pendapatan ekonomi nasional.

"Karena kebijakan kami, rezim Iran kesulitan mendanai kampanye teror yang kejam karena ekonominya menuju depresi yang belum pernah terjadi sebelumnya, pendapatan pemerintah mengering, dan inflasi tidak terkendali," kata Trump dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, setelah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di London, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan kesepakatan nuklir adalah "pencapaian yang sangat penting dari diplomasi Barat", meskipun Rusia dan China juga merupakan bagian dari negosiasi terkait.

"Jika Iran memenuhi komitmennya, kami akan menepati komitmen kami," kata Menlu Hunt, seraya menyebut ada "jangka waktu 60 hari" untuk menyelesaikan kebuntuan saat ini.

 

 

AS dan Inggris Beda Pendapat

Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt (AP/Markus Schreiber)
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt (AP/Markus Schreiber)

Pembicaraan Pompeo dengan para pejabat Inggris --yang digambarkan sebagai "pembicaraan terus terang"-- terjadi tepat setahun setelah Trump menarik AS dari tenggat Rencana Aksi Komprehensif multilateral (JCPOA), yang dirancang untuk mengekang ambisi nuklir Iran dengan imbalan keringanan sanksi.

Pompeo mencari dukungan dari mitra internasional utama, setelah Iran mengumumkan sehari sebelumnya, bahwa mereka akan menangguhkan beberapa komitmennya yang dibuat berdasarkan kesepakatan terkait.

"Kita harus melihat apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Iran," kata Pompeo.

"AS akan menunggu untuk mengamati itu. Kami telah membuat keputusan yang berbeda dengan Inggris mengenai JCPOA, tetapi saya yakin ketika kami menyaksikan aktivitas Iran saat ini, kami dan para mitra kami akan terus bekerja sama untuk menyampaikan tekanan maksimum," lanjutnya.

Inggris, di lain pihak, berbeda pendapat dengan AS, dan menganggap bahwa kesepakatan lama masih relevan dan dapat disesuaikan.

Menurut para pengamat, Inggris terus berupaya mempertahankan kendaraan keuangan dan metode perdagangan khusus untuk menumbangkan sanksi dari AS.

Meski begitu, Menlu Hunt menegaskan bahwa Inggris tetap akan bertindak jika Iran mengancam untuk melanjutkan pengayaan dalam dalam jangka waktu 60 hari ke depan, serta memperingatkan Teheran untuk berpikir panjang tentang risikonya.

Muncul Kekhawatiran di Negara-Negara Eropa

20170508-Runtuhnya Bintang Uni Eropa di Tangan Banksy-AP
Mural pria tengah menghancurkan salah satu dari 12 bintang kuning bendera Uni Eropa di dinding kawasan Dover, Inggris, Senin (8/5). Bintang-bintang kuning itu merupakan simbol kesatuan, solidaritas, dan harmoni di antara warga Eropa (Gareth Fuller/via AP)

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan dia berharap kesepakatan nuklir dapat diselamatkan setelah pengumuman Iran.

Juru bicara PBB, Farhan Haq, mengatakan bahwa Guterres secara konsisten memuji JCPOA sebagai "pencapaian besar dalam tindakan non-proliferasi dan diplomasi nuklir, yang telah berkontribusi pada perdamaian dan keamanan global".

Sementara itu, di seluruh Eropa, muncul kekhawatiran tentang perkembangan terbaru yang mengancam kesepakatan nuklir.

Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly, mengatakan kepada BFMTV "tidak ada yang lebih buruk dari Iran meninggalkan kesepakatan ini".

Namun, dia menyuarakan keprihatinan serius atas ancaman Teheran untuk melanjutkan pengayaan uranium yang lebih tinggi, dan mendesak kemungkinan sanksi baru jika kesepakatan itu tidak dihormati.

Jerman, yang juga ingin berpegang pada kesepakatan 2015 terlepas dari penarikan dan sanksi AS, juga menyerukan eskalasi lebih lanjut harus dihindari.

"Kami telah mempelajari pengumuman Iran dengan keprihatinan besar dan kami akan mencermati hal ini sekarang," kata Menteri Luar Negeri Heiko Maas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya