6 Negara Ini Pernah Mengubah Sejarah Bangsa di Buku Sekolah

Enam negara ini ternyata pernah beberapa kali mengubah sejarah bangsa di buku cetak sekolah.

oleh Siti Khotimah diperbarui 11 Jun 2019, 19:05 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2019, 19:05 WIB
Sadam Hussein di Perang Iran-Irak
Sadam Hussein di Perang Iran-Irak (Foto:AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sejarah tentang peristiwa besar biasanya ditulis secara beragam oleh berbagai sumber, termasuk buku teks sekolah. Negara dengan wewenang yang dimiliki juga sering kali menerbitkan edisi revisi atas narasi kejadian penting di masa lalu.

Menariknya, satu negara dengan yang lain tak jarang menerbitkan cerita yang berbeda tentang sejarah tertentu. Biasanya, yang menyangkut kepentingan bangsa atau dalam beberapa kesempatan, bisa jadi atas nama keinginan individu.

Sejak abad ke-20, beberapa pemerintah telah menyadari bahwa mereka dapat menulis ulang sejarah untuk keuntungan mereka sendiri. Ternyata, hal itu telah dilakukan.

Sebagai akibatnya, murid-murid yang mempelajari kisah sejarah dibuat bingung dengan kebenaran. Padahal pengetahuan yang diterima biasanya diyakini hingga dewasa.

Berikut adalah beberapa negara yang menurut List Verse dikutip Selasa (11/6/2019) pernah mengubah sejarah bangsanya.

1. Irak

Saddam Hussein
Sejumlah diktator ternyata pernah menulis buku dan karya tulis lainnya.(Sumber CNN)

Pada tahun 1973, Saddam Hussein menulis buku teks sejarah Irak untuk mempromosikan dirinya dan ideologi Partai Ba'ath-nya. Buku itu berisi, Hussein telah menyelamatkan tanah Arab dari serbuan orang-orang Yahudi, yang ia sebut orang rakus.

Bertahun-tahun kemudian, buku sejarah versi Hussein menambahkan bahwa Irak telah memenangkan Perang Iran-Irak tahun 1980-88 dan Perang Teluk 1991 melawan AS. Ternyata, keduanya salah. Buku-buku teks ini menjadi sumber keprihatinan bagi koalisi pimpinan AS yang menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein pada 2003.

Bekerja sama dengan tim pendidik Irak, pemerintah AS menghapus setiap referensi terkait Saddam Hussein dan Partai Ba'ath.

Mereka menghapus beberapa tulisan tentang Iran, Kuwait, Yahudi, Kurdi, Sunni, Syiah, dan AS. Para pendidik juga mengedit detail dari Perang Teluk 1991 untuk membuatnya "kurang kontroversial."

2. India dan Pakistan

Hari Kemerdekaan India
Seorang gadis mengibarkan bendera India saat para siswa melakukan tarian selama perayaan Hari Kemerdekaan India, di Jammu, India, (15/8). India merdeka dari kolonialis Inggris pada tahun 1947. (AP Photo / Channi Anand)

Hubungan antara India dan Pakistan telah bermasalah sejak keduanya memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1947 silam. Ternyata, perseteruan keduanyajuga berlanjut di buku teks sejarah. Mereka mengajarkan versi "khusus" terkait peristiwa masa lalu kepada warga mereka.

Buku pelajaran sejarah di kedua negara menceritakan secara berbeda peristiwa 1947. Buku pelajaran Pakistan mengklaim bahwa muslim Pakistan memisahkan diri dari India setelah Hindu India mengubahnya menjadi budak pasca-kemerdekaan.

Sementara itu, buku teks India mengklaim bahwa Pakistan hanya menggunakan penciptaan negara baru sebagai alat tawar-menawar dan tidak pernah benar-benar menginginkannya.

India dan Pakistan terjerat dalam serangkaian kerusuhan mematikan yang menewaskan 200.000-500.000 orang setelah pemisahan negara itu. Terkait hal tersebut, buku teks Pakistan menyalahkan India atas kerusuhan dengan mengklaim bahwa orang-orang Hindu menyerang lebih dulu. Sementara buku teks India menyatakan bahwa kedua belah pihak bersalah.

Buku pelajaran sejarah yang dicetak di kedua negara juga mengklaim kemenangan masing-masing dalam perang 1965.

Buku pelajaran Pakistan mengklaim bahwa India "memohon belas kasihan" dan "lari ke PBB" setelah menderita serangkaian kekalahan di tangan militer Pakistan. Buku pelajaran India mengklaim bahwa India hampir mencapai Lahore di Pakistan sebelum PBB memerintahkan berakhirnya permusuhan.

3. Jepang

[Bintang] Bendera Jepang
Bendera Jepang (via onlinestores.com)

Jepang memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan China dan Korea Selatan, khususnya karena Perang Dunia II. Sentimen anti-Nippon besar-besaran muncul di kedua negara selama abad ke-20 karena perselisihan wilayah akibat invasi Jepang. Kejahatan perang terhadap warga Tiongkok dan Korea dalam perang semakin memperkeruh keadaan.

Pada 2017, pemerintah Jepang diekspos karena mengedit buku sejarah siswa sekolah menengah pertama. Pengeditan dipelopori oleh "Masyarakat untuk Penyebaran Fakta Sejarah" yang ironisnya dinamai. Kelompok itu menghapus bagian-bagian dari buku teks Jepang yang berisi tentang 300.000 warga China yang terbunuh selama Pembantaian Nanjing 1937 yang terkenal.

Buku-buku itu juga menghapus referensi tentang 400.000 wanita Korea dan China yang dipaksa Jepang menjadi pelacur selama Perang Dunia II atau Jugun Ianfu. Buku pelajaran itu juga menyalahkan AS atas pemboman Pearl Harbor.

 

4. Afghanistan

Tentara Afghanistan dalam perang melawan Taliban (AP/Rahmat Gaul)
Tentara Afghanistan dalam perang melawan Taliban (AP/Rahmat Gaul)

Pada 2012, kementerian pendidikan Afghanistan memperbarui kurikulum sejarahnya. Langkah ini mengarah pada penghapusan instan 40 tahun sejarah bangsa, termasuk kehidupan di bawah pemerintahan komunis Afghanistan, beberapa kudeta di tahun 1970-an, dan invasi Soviet 1979 .

Pemerintah mengatakan suntingan itu diperlukan untuk menyatukan negara yang terpecah di mana warga negara memiliki lebih banyak kesetiaan kepada suku, klan, dan kepercayaan politik mereka daripada kepada bangsa itu sendiri.

5. Chile

Augusto Pinochet
Augusto Pinochet (Foto: Independent.co.uk)

Pada 2012, Kementerian Pendidikan Chile mencoba menyunting bagian-bagian dari buku teks sejarahnya yang berkaitan dengan pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet yang memerintah negara itu hingga 1990. Buku-buku baru itu menyebut pemerintah Pinochet sebagai "rezim" bukan "kediktatoran."

Kritikus, yang sebagian besar dari oposisi sayap kiri, mengklaim bahwa langkah itu merupakan upaya menulis ulang sejarah untuk menenangkan pemerintah pusat-kanan yang berkuasa, yang mendapat dukungan dari jenderal semasa kepemimpinannya.

Pemerintah membantah klaim tersebut, mengatakan hanya ingin menggunakan kata yang kurang bermuatan politik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya