Selandia Baru Kembali Beli 10.000 Senjata Api dari Warga Usai Teror Christchurch

Pemerintah Selandia Baru telah membeli sekitar 10.000 senjata api pasca-penembakan Christchurch yang menewaskan 51 orang.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Agu 2019, 12:02 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2019, 12:02 WIB
Bendera Selandia Baru sebelum referendum (AFP Photo)
Bendera Selandia Baru sebelum referendum (AFP Photo)

Liputan6.com, Wellington - Lebih dari 10.000 senjata api milik warga telah dibeli oleh pemerintah Selandia Baru dalam waktu kurang dari sebulan, sebagai bagian dari skema pembelian senjata setelah penembakan massal di dua masjid Christchurch, Maret lalu.

Pasca-penembakan yang menewaskan 51 orang itu, di mana dilakukan oleh seorang penganut supremasi kulit putih asal Australia, pemerintahan Perdana Menteri Jacinda Ardern bergegas merevisi undang-undang kepemilikan senjata di Selandia Baru.

Beberapa hasilnya adalah pelarangan penuh senjata semi-otomatis gaya militer, serta menyisihkan NZ$ 150 juta (setara Rp 1,3 triliun) untuk membeli kembali senjata terkait dari warga yang memilikinya, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (13/8/2019).

Sebuah RUU yang melarang sebagian besar senjata otomatis dan semi-otomatis, serta komponen-komponen untuk modifikasi senjata terkait, disahkan Parlemen Selandia Baru dengan suara 119 banding 1 pada April lalu.

"Saya tidak dapat memahami bagaimana senjata yang dapat menyebabkan kehancuran seperti itu dan kematian berskala besar dapat diperoleh secara legal di negara ini," kata Ardern kala itu.

"Dalam setiap kasus mereka (korban) berbicara tentang banyak luka, yang melemahkan dan dianggap mustahil untuk pulih dalam beberapa hari, apalagi berminggu-minggu. Luka tersebut akan menjadi cacat seumur hidup, dan itu sebelum Anda mempertimbangkan dampak psikologisnya. Kami di sini untuk mereka," lanjutnya menjelaskan.

Tersangka Membeli Senjata Secara Legal

Penembakan Senjata Api
Ilustrasi Foto Penembakan (iStockphoto)

Pelaku penembakan --yang tidak ingin disebut namanya oleh pemerintah lokal-- membei senjata semi-otomatis secara legal di Selandia Baru, menampik tudingan sebelumnya yang menyebut itu diperoleh dari pasar gelap.

Skema pembelian kembali senjata oleh pemerintah Selandia Baru diluncurkan pada peterngahan Juli tahun ini.

Sejak itu, 10.242 senjata telah diserahkan ke polisi, dengan 1.269 senjata tambahan diserahkan di bawah amnesti.

Khusus untuk amnesti, penyerahan ini berarti tidak ada pertanyaan yang akan ditanyakan oleh polisi tentang kapan atau bagaimana pemilik memperoleh senjata yang sekarang dilarang.

Bahkan, amnesti tersebut juga berlaku pada mereka yang membeli senjata tanpa lisensi atau dokumen lengkap terkait.

Sebanyak 90 agenda pengumpulan senjata telah diadakan di seluruh Selandia Baru, di diikuti oleh lebih dari 7.000 pemilik senjata api.

Digunakan untuk Berburu dan Olah Raga

Senjata Api
Ilustrasi Foto Senjata Api (iStockphoto)

Pada hari-hari dan beberapa pekan setelah penembakan massal terburuk dalam sejarah modern Selandia Baru itu, banyak pemilik senjata api secara sukarela menyerahkan senjatanya ke polisi.

Banyak dari mereka mengaku "jijik" pada penembakan massal terhadap dua masjid di Christchurch pada 15 Maret lalu.

Meski begitu, ada pula sebagian kalangan sipil yang mulai menimbun senjata dan amunisi yang dilarang.

Banyak pula klub senjata dan asosiasi perburuan mengkritik skema pembelian kembali tersebut, menuding kompensasi yang ditawarkan kurang layak.

Secara umum, pemilik senjata api menggunakannya untuk kegiatan olah raga dan berburu. Hal ini bereda dengan kondisi di Amerika Serikat, di mana senjata dilegalkan sebagai hal melindungi diri sendiri.

Diperkirakan antara 1,2 juta hingga 1,5 juta senjata dimiliki oleh kalanga sipil Selandia Baru, dan pemerintah setempat memberikan peluang amnesti hingga 20 Desember mendatang.

Kini, kepemilikan senjata atau bagian yang terlarang bisa berujung ancaman hukuman penjara 2-5 tahun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya