Liputan6.com, Jakarta Pembicaraan politik tentang proses repatriasi Rohingya, terutama yang dilakukan oleh Bangladesh dan Myanmar, telah dilakukan sejak dua tahun terakhir.
Sesuai dengan perjanjian bilateral yang ditandatangani Bangladesh dan Myanmar di Naypyidaw pada 23 November 2017, proses repatriasi pengungsi Rohingya dimulai pada 22 Januari 2018 dan selesai dalam dua tahun--tepatnya pada Januari 2020. Namun, pelaksanaannya tersendat.
Advertisement
Baca Juga
PBB telah mengeluhkan bahwa kemajuan untuk mengatasi krisis pengungsi terlalu lambat.
Masalah repatriasi bagi masyarakat Rohingya yang kini berada di Bangladesh masih menjadi polemik rumit bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Apa Peran Indonesia?
Keterlibatan Indonesia dalam anggota Dewan Keamanan PBB membuat pemerintah juga harus ikut serta dalam usaha repatriasi ini.
Febrian Ruddyard selaku Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral mengatakan bahwa masalah yang ada saat ini adalah mencari cara bagaimana para pengungsi bisa dikembalikan berdasarkan asas "safe, dignified and volunteery".
"Kita perlu kerja sama dengan negara lain. Banyak negara lain punya pandangan berbeda mungkin ya, tapi buat kita yang penting adalah repatriasi karena itu adalah masalah kemanusiaan. Dan buat kita yang penting adalah ada kerjasama besar antara Bangladesh dan Myanmmar," ujar Febrian di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Ia menilai bahwa proses repatriasi para pengungsi hanya akan berjalan dengan mulus jika kedua negara tersebut mau bergotong royong dalam proses ini. Maka dari itu, hal itu lah yang akan didorong oleh pemerintah Indonesia di dalam ruang anggota Dewan Keamanan PBB.
Advertisement