Liputan6.com, Brasilia - Brasil telah mengonfirmasi lebih dari 330.000 kasus virus corona, melampaui Rusia untuk menjadi negara dengan jumlah infeksi tertinggi kedua di dunia.
Tonggak sejarah yang suram datang pada Jumat 22 Mei 2020 ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Amerika Selatan sebagai "pusat baru" dari virus corona yang mematikan itu, dengan direktur kedaruratan WHO, Mike Ryan, menyatakan keprihatinan terbesar bagi Brasil.
Baca Juga
"Dalam arti tertentu, Amerika Selatan telah menjadi episentrum baru untuk penyakit ini. Kami telah melihat banyak negara Amerika Selatan dengan jumlah kasus yang semakin meningkat," kata Ryan pada konferensi pers virtual, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (23/5/2020).
Advertisement
"Jelas ada kekhawatiran di banyak negara itu, tetapi jelas yang paling terpengaruh adalah Brasil pada saat ini," lanjutnya.
Brasil melaporkan angka kematian harian pada Jumat 22 Mei sebanyak 1.001, menjadikan total kematian menjadi 21.048, menurut kementerian kesehatan.
Namun jumlah sebenarnya --dari kedua kasus terkonfirmasi dan kematian-- kemungkinan lebih tinggi karena negara ekonomi top Amerika Latin itu lambat untuk meningkatkan pengujian.
Jumlah korban tewas akibat virus corona telah berlipat ganda hanya dalam 11 hari, menurut data kementerian. "Sebagian besar kasus berasal dari wilayah Sao Paulo," kata Ryan.
"Tetapi dalam hal tingkat serangan, tingkat serangan tertinggi sebenarnya di Amazonas: sekitar 490 orang terinfeksi per 100.000 populasi, yang cukup tinggi," katanya tentang negara bagian barat laut Brasil yang luas.
Â
Simak video pilihan berikut:
Hydroxychloroquine
Kementerian kesehatan Brazil telah merekomendasikan penggunaan obat anti-malaria chloroquine dan hydroxychloroquine untuk mengobati bahkan kasus-kasus ringan COVID-19. Presiden Brasil Jair Bolsonaro telah mendorong penggunaannya, meskipun kurangnya bukti konklusif tentang keefektifannya.
Sebuah analisis yang diterbitkan pada Jumat 22 Mei dalam jurnal medis The Lancet menemukan bahwa pasien yang diobati dengan obat-obatan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka yang belum diberi obat-obatan ini.
Ryan menekankan bahwa baik hydroxychloroquine maupun chloroquine tidak terbukti efektif dalam pengobatan COVID-19 --atau dalam profilaksis terhadap penyakit ini.
Kedua obat tersebut termasuk beberapa yang terlibat dalam uji klinis terkoordinasi WHO untuk menemukan perawatan yang efektif untuk penyakit ini. Sekitar 3.000 pasien ambil bagian dalam uji coba di 320 rumah sakit di 17 negara.
"Tinjauan klinis dan sistematis kami saat ini yang dilakukan oleh Pan American Health Organization, dan bukti klinis saat ini, tidak mendukung meluasnya penggunaan hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19 --tidak sampai uji coba selesai dan kami memiliki hasil yang jelas," kata Ryan.
Advertisement