Jakarta - Di saat banyak orang ingin pindah kewarganegaraan tanpa banyak pertimbangan, ada pula yang memilih mempertahankan kewarganegaraannya meski sudah bertahun-tahun tinggal di luar negaranya.
Di Australia, ada sejumlah warga asal Indonesia yang sudah menetap puluhan tahun dan tetap bangga berkewarganegaraan Indonesia. Demikian seperti mengutip ABC Indonesia, Jumat (16/10/2020).
Advertisement
Baca Juga
Salah satunya adalah Tiur Ratu boru Munthe, yang sudah tinggal di Sydney sejak tahun 1974 sebelum menetap di tahun 1981.
Ibu dari dua anak dan nenek dari lima orang cucu ini tetap memegang paspor Indonesia.
Tiur yang bersuamikan pria keturunan Tionghoa mengatakan kecintaannya kepada Indonesia masih tetap mendalam, walau alasan kepindahannya ke Australia karena kondisi di Indonesia saat itu.
"Tujuan pertama kami pindah waktu itu adalah untuk menghindari masalah SARA, karena waktu itu, warga etnis Tionghoa mulai ditekan dengan adanya kode-kode tertentu di KTP," kata Tiur. "Jadi untuk masa depan anak-anak ke depan agar bebas dari tekanan kami pindah," tambah perempuan berdarah Tapanuli itu.
Tahun ini adalah tahun ke-46 Tiur Munthe dan keluarganya tinggal di Sydney.
"Setelah tiba di tahun 1974 kami sempat pulang pergi dan sesudah tahun 1981, karena anak-anak sudah mesti sekolah, kami menetap dan hanya pulang ke Indonesia untuk berlibur," ujar perempuan berusia 69 tahun tersebut.
Alasan Tak Lepas Kewarganegaraan Indonesia
Baik Tiur maupun keluarganya yang masih memegang paspor Indonesia mengaku tidak pernah mengalami masalah dalam urusan perpanjangan paspor.
"Saya tidak pernah bermasalah dengan KJRI Sydney, apalagi 12 tahun belakangan ini staf-staf KJRI dan Konjennya merakyat," kata Tiur yang juga adalah ketua perkumpulan warga Batak Bonapasogit di Sydney.
Salah satu alasan warga Indonesia pindah warga negara biasanya agar memudahkan perjalanan ke negara lain, tapi Tiur merasa tak ada kendala dengan tetap memegang paspor Indonesia.
"Untuk mengurus perjalanan ke negara lain kami tidak mengalami masalah, karena semua syarat yang diminta sudah disiapkan. Jadi walau paspornya Indonesia, tapi karena kami sudah berstatus permanent resident (penduduk tetap) Australia, ini juga banyak menolong." kata Tiur.
Alasan lain keluarga Tiur mempertahankan paspor Indonesia adalah karena mereka masih memiliki properti di Indonesia.
Meskipun telah hampir lima dasawarsa tinggal di Australia, Tiur mengaku masih terus berkontribusi bagi Indonesia dengan caranya sendiri.
"Saya ingin membantu anak-anak di desa untuk pendidikan. Selama ini kami hanya dapat membantu sedikit di daerah yang berbeda di Nusa Tenggara Timur.Perempuan yang juga aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia di Sydney ini mengatakan ia sedang fokus mencari dana bagi pembangunan sekolah di lembah gunung di karekan Nduku di Sumba Barat.
Advertisement
Bangga Jadi Orang Indonesia
Pra Kromodimoeljo sudah enam puluh tahun tinggal di Australia, lebih lama daripada Tiur.
Pria yang bermukim di Melbourne ini tiba sebagai mahasiswa saat ia berusia 17 tahun pada tahun 1960 untuk menempuh pendidikan di RMIT Melbourne, sampai akhirnya menikah dengan warga Australia Lorraine Rae di tahun 1965 dan menetap di Australia.
Sepanjang hidupnya di Australia, Pra sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan, ketika Australia memberlakukan kebijakan White Australia Policy, dimana Australia hanya menerima imigran kulit putih dari Eropa di tahun 1970-an.
Namun, setelah mempertimbangkan latar belakang pengalaman diri dan keluarganya, dia memutuskan tetap menjadi WNI.
"Alasan utama adalah alasan psikologis, harga diri. Sampai sekarang saya tidak pernah mengalami masalah sebagai pemegang paspor Indonesia," kata Pra.Ia malah merasa memiliki keuntungan sebagai orang Indonesia karena melihat perkembangan ekonomi Indonesia sebagai negara terbesar keempat di dunia.
Pra yang sebelumnya belajar Metalurgi di RMIT dan kemudian bekerja di Lab Metalurgi di salah satu perusahaan Australia Caterpillar mengatakan masih terus memiliki hubungan erat dengan Indonesia.
"Rata-rata selama 60 tahun ini, saya dan istri saya mengunjungi Indonesia setiap dua tahun sekali," kata pria kelahiran tahun 1942 ini.
Mereka juga pernah ke Indonesia di tahun 1968 untuk menjajaki kemungkinan menetap di sana, namun melihat situasi dalam negeri di awal Orde Baru saat itu, Pra akhirnya memutuskan untuk kembali dan menetap di Melbourne.