Hadapi Gelombang Kedua COVID-19, Eropa Diimbau Tiru Cara Vietnam

Setelah Inggris, Spanyol, dan Perancis masing-masing melaporkan ribuan kasus harian baru, Eropa kini berada dalam cengkeraman kembalinya COVID-19.

diperbarui 18 Okt 2020, 15:01 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2020, 15:01 WIB
Brussel Wajibkan Pemakaian Masker di Tempat Umum
Para perempuan memakai masker di jalanan Brussel, Belgia, Rabu (12/8/2020). Penggunaan masker menjadi wajib di tempat umum di Brussel karena kasus Covid-19 naik ke tingkat kewaspadaan yang menempatkan kota itu di antara yang paling parah terkena dampak corona di Eropa. (François WALSCHAERTS/AFP)

Brussels - Setelah Inggris, Spanyol, dan Perancis masing-masing melaporkan ribuan kasus harian baru, Eropa kini berada dalam cengkeraman kembalinya COVID-19.

Menyusul pelonggaran pembatasan aktivitas selama musim panas, tingkat infeksi di sejumlah negara di Benua Biru sekarang lebih tinggi dibanding bulan Maret dan April --gelombang pertama COVID-19.

Tapi kini banyak daerah yang dipaksa untuk memberlakukan kembali aturan pembatasan, meskipun sebagian besar negara menolak 'lockdown' nasional. 

Puncak gelombang kedua lebih tinggi

Pada gelombang pertama, jumlah kasus baru harian Perancis puncaknya mencapai lebih dari 7.500 di tanggal 31 Maret.

Sementara puncak gelombang kedua tercatat pada hari Minggu (11/10) dengan jumlah kasus baru 26.675 dalam 24 jam, atau tiga kali lipat lebih dari puncak pertama.

Spanyol telah mencatat lebih dari 30.000 kasus dalam seminggu terakhir, dengan lebih dari 20.000 di antaranya berasal dari wilayah Madrid saja.

Pada gelombang pertama, puncak kasus harian di Inggris adalah 7.860 pada 10 April, yang telah melonjak menjadi 17.540 pada 8 Oktober.

Namun, ini hanya kasus baru yang dilaporkan dari lokasi tes COVID-19. Angka-angka ini diketahui di bawah jumlah infeksi yang sebenarnya, karena banyak orang tidak bergejala sehingga kecil kemungkinannya untuk dites.

Peneliti dari Imperial College London memeriksa 175.000 orang di Inggris, baik yang bergejala atau tidak, dan menemukan 824 di antaranya positif COVID-19. Penelitian ini digunakan sebagai dasar perkiraan bahwa ada sekitar 45.000 infeksi harian baru antara 18 September dan 5 Oktober.

Jumlah yang terinfeksi bisa lebih dari dua kali lipat atau tiga kali lipat hasil tes positif baru harian resmi yang dilaporkan selama kurun waktu itu.

 

Simak video pilihan berikut:

Lelah dengan pembatasan saat musim panas

Kasus Corona Melonjak, Inggris Batasi Jam Operasional Restoran
Pramusaji mengenakan masker saat melayani pelanggan di luar restoran di Soho, London, Selasa (22/9/2020). Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, telah mengumumkan bahwa pub dan restoran tutup pada pukul 10 malam, karena lonjakan kasus virus corona di seluruh Inggris. (AP Photo / Alberto Pezzali)

Musim panas adalah musim liburan dan merupakan kesempatan emas bagi perekonomian Eropa, sehingga banyak negara mencabut berbagai batasan untuk mengaktifkan pariwisata.

Banyak orang merasa telah memperoleh kembali kebebasan mereka dan merasa lebih tidak perlu mematuhi aturan menjaga jarak fisik selama musim panas, seperti yang sedang diteliti Imperial College di London, Inggris.

Para peneliti menemukan bahwa banyak orang Eropa yang disurvei telah melonggarkan perilaku mereka dalam beberapa bulan terakhir, dibandingkan pada bulan April yang lalu.

Memang, gelombang kedua Eropa menunjukkan adanya unsur kelelahan akibat sejumlah pembatasan yang diberlakukan berbulan-bulan pada kehidupan sehari-hari yang menggoyahkan ekonomi.

Direktur WHO Eropa Dr Hans Kluge mengakui: "Sangat mudah dan alami untuk merasa apatis dan kehilangan motivasi, serta kelelahan."

Ia meminta otoritas Eropa untuk mendengarkan publik dan bekerja sama dengan mereka melalui "cara yang baru dan inovatif" untuk membangkitkan kembali perang melawan COVID-19.

 

Pembatasan berlaku lagi, tapi belum 'lockdown' nasional

Potret Inggris yang Terancam Lockdown Jilid II
Pelanggan menikmati makan siang di meja di luar restoran di Soho, London, ketika pemerintah Inggris mempertimbangkan pembatasan baru pada Minggu (20/9/2020). Inggris kemungkinan akan kembali memberlakukan tindakan lockdown akibat lonjakan tajam infeksi virus corona COVID-19. (DANIEL LEAL-OLIVAS/AFP)

Dalam beberapa pekan terakhir, banyak pemimpin Eropa telah mengumumkan pembatasan yang lebih terfokus dan terlokalisasi, tetapi belum ada yang memberlakukan 'lockdown' nasional.

Pemerintah Perancis memberlakukan kembali pembatasan di banyak daerah perkotaan, termasuk membatasi kapasitas restoran dan ruang kelas di sekolah, serta menutup bar dan pusat kebugaran.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez memperkenalkan pembatasan perjalanan ke dan dari Madrid, yang telah memicu protes dan membuat administrasinya dilabeli "kriminal dan totaliter" oleh para lawan politiknya dari sayap kanan.

Seperti Perancis dan Spanyol, pemerintah Inggris tidak berencana untuk menerapkan kembali 'lockdown' nasional meskipun ada sejumlah kasus yang tercatat.

Perdana Menteri Boris Johnson telah memilih menerapkan "pendekatan yang proporsional" dengan memberlakukan sistem peringatan yang terbagi menjadi tiga tingkat di seluruh Inggris - sedang, tinggi, dan sangat tinggi - tergantung pada tingkat keparahan wabah.

Sebelum munculnya gelombang kedua di Eropa, Jerman menjadi panutan bagi pendekatannya yang berhasil memerangi virus. Gambaran ini akan sulit dipertahankan, karena dalam beberapa hari terakhir negara ini telah mengalami peningkatan kasus harian tertinggi sejak puncaknya pada awal April.

Ibu kota Jerman, Berlin, yang terkenal dengan kehidupan malamnya, sejak 10 Oktober lalu mengalami aturan jam malam untuk yang pertama kalinya dalam 70 tahun terakhir.

 

Eropa bisa belajar dari kesuksesan negara-negara seperti Vietnam

Kasus Kematian Corona di Prancis
Orang-orang tampak beraktivitas di area Istana Trocadero tak jauh dari Menara Eiffel di Paris, 10 Juli 2020. Jumlah kematian terkait corona di Prancis naik menjadi 30.004, sementara jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit atau di ICU terus turun pada Jumat (10/7). (Xinhua/Gao Jing)

Sebaliknya, beberapa negara Asia Tenggara melakukannya dengan sangat baik.

Selama dua minggu terakhir, Vietnam, Thailand dan Kamboja telah melaporkan rata-rata sekitar 0-5 kasus baru setiap hari meskipun berpopulasi padat.

Penting untuk dicatat bahwa mungkin ada kekurangan penghitungan dalam jumlah kasus dan kematian, tetapi ini tidak mengurangi keberhasilan luar biasa yang telah dicapai oleh negara-negara ini.

Jumlah total kasus di Vietnam hanya 1.113, yang sangat rendah untuk populasinya yang hampir 100 juta orang.

Salah satu taktik yang digunakan oleh otoritas kesehatan adalah pengujian yang menyasar pada orang-orang tertentu, di mana mereka berfokus pada individu berisiko tinggi dan pada hunian serta lingkungan tempat ditemukannya kasus yang terkonfirmasi.

Otoritas kesehatan juga telah menerapkan pelacakan kontak secara ekstensif, dan bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko terpapar, terlepas dari gejalanya.

Vietnam juga mendirikan fasilitas karantina untuk orang yang terinfeksi dan pelancong internasional untuk menekan penyebaran wabah pada level rumah tangga.

Di Thailand, relawan kesehatan telah mengunjungi area kluster, melakukan skala prioritas kasus, mengirim orang dengan gejala ke klinik medis untuk dites, dan menghilangkan rumor dan informasi yang salah.

Mereka juga telah mengajari orang cara mencuci tangan dengan benar, menekankan pentingnya masker, dan membagikan pembersih tangan.

Selain itu, Departemen Pengendalian Penyakit Thailand telah menghubungi staf rumah sakit dari setiap provinsi untuk memastikan mereka tahu cara mendeteksi kasus dan cara mencegah wabah di rumah sakit.

Pendidikan ini diikuti keberadaan sejumlah sukarelawan, telah membantu Thailand menjaga jumlah kasus hanya sedikit di atas 3.500.

Meskipun memiliki sistem medis yang relatif lemah, jumlah kasus Kamboja sangat rendah, hanya 283, dengan catatan nol kematian.

Negara ini telah melakukan pelacakan kontak ekstensif, dengan memanfaatkan 2.900 petugas kesehatan yang telah dilatih dalam pelacakan kontak pada awal tahun.

Negara itu juga menjalani 'lockdown' ketat di awal pandemi termasuk dengan menutup sekolah dan tempat hiburan.Perjalanan juga telah dibatasi.

Hampir 80 persen penduduk Kamboja tinggal di daerah pedesaan dengan kepadatan penduduk yang rendah, sehingga memudahkan pengelolaan penyebaran wabah dan mengalokasikan sumber daya ke lokasi yang lebih padat dan berisiko tinggi seperti Phnom Penh, Siem Reap, dan Sihanoukville.

Setelah mengalami wabah SARS dan flu burung, banyak negara Asia yang menganggap serius ancaman COVID-19 sejak awal.

Selain itu, banyak negara menerapkan aturan pemakaian masker yang ketat dan menjaga jarak fisik sejak dini.

Pengujian yang ditargetkan, pendidikan, dan keterlibatan komunitas sangat penting dalam menanggapi COVID-19.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya