Ancaman Kudeta di Myanmar, Dipicu Tensi Politik Aung San Suu Kyi Vs Militer

Seorang juru bicara untuk militer Myanmar (Tatmadaw), pada Selasa 26 Januari 2021 menolak untuk mengesampingkan kemungkinan kudeta militer, menyusul tensi politik antara pemerintahan sipil versus militer.

oleh Hariz Barak diperbarui 30 Jan 2021, 12:07 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2021, 12:01 WIB
Akhiri Masa Diam, Aung San Suu Kyi Angkat Bicara Soal Krisis Rohingya
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Naypyidaw - Myanmar menghadapi krisis politik yang semakin dalam, beberapa hari sebelum parlemen yang baru terpilih ditetapkan untuk bersidang.

Krisis politik terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara militer kuat negara itu dan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, demikian seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (30/1/2021).

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang berkuasa memenangkan kemenangan telak dalam pemilu November 2020.

Namun, militer dan faksi politiknya telah menuntut pihak berwenang menyelidiki tuduhan kecurangan pemungutan suara massal.

Seorang juru bicara untuk militer (Tatmadaw), pada Selasa 26 Januari 2021 menolak untuk mengesampingkan kemungkinan kudeta militer, sementara panglima Min Aung Hlaing pada Rabu 27 Januari melayangkan gagasan untuk mencabut konstitusi negara.

Komisi pemilu Myanmar, pada Kamis 28 Januari, melabeli pelaksanaan pemilihan November 2020 --yang merupakan pemilihan umum bebas kedua setelah puluhan tahun junta militer-- sebagai praktik yang transparan dan adil.

PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, pada Jumat 29 Januari juga mendesak militer untuk menghormati hasil pemilu yang diterima secara luas.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak "semua aktor untuk berhenti dari segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, dan mematuhi norma-norma demokrasi," dalam sebuah pernyataan yang dirilis hari Kamis.

"Kami menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghambat transisi demokrasi Myanmar," demikian pernyataan bersama dari beberapa misi diplomatik negara asing di Myanmar.

Anggota komite eksekutif NLD, Myo Nyunt menyatakan bahwa partainya tidak akan diam.

"Tidak pantas bagi militer untuk mendorong klaim (kemenangannya) setelah hasil pemilu telah disertifikasi," jelasnya.

"Apa pun yang mereka lakukan, harus sejalan dengan undang-undang yang ada," lanjut politisi sipil Myanmar tersebut.

 

Simak video pilihan berikut:

Krisis Konstitusional?

FOTO: Kampanye Pendukung Partai Aung San Suu Kyi Jelang Pemilu Myanmar
Pendukung partai National League for Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi berkonvoi dengan truk saat kampanye pemilihan umum bulan depan di Naypyitaw, Myanmar, Rabu (21/10/2020). (AP Photo/Aung Shine Oo)

Penulis Thant Myint-U, yang menulis "Sejarah Tersembunyi Burma: Ras, Kapitalisme, dan Krisis Demokrasi di Abad ke-21" mencatat dalam sebuah tweet hari Kamis bahwa Myanmar tengah mengalami "krisis konstitusional yang paling akut sejak penghapusan junta lama pada 2010."

Di antara keluhan para kepala militer Myanmar adalah tuduhan 8,6 juta kasus penipuan pemilih di negara beranggotakan hampir 55 juta orang itu, kata juru bicara Tatmadaw, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun saat konferensi pers pada Selasa 26 Januari.

Dia juga mengatakan militer telah mengamati lebih dari satu juta suara duplikat. "Kami tidak bisa menutup mulut setelah kami menemukan bukti yang kuat seperti itu," katanya saat itu.

Pemerintahan sipil Myanmar --yang baru terbentuk pada satu dekade lalu-- berulang kali bentrok dengan militer untuk lebih banyak kekuasaan di negara yang selama hampir lima dekade berada di bawah pemerintahan junta sebelum memulai reformasi politik pada tahun 2010.

Selain mengajukan banding ke komisi pemilihan umum dan pemerintah untuk memastikan pemilihan yang adil, Partai Solidaritas dan Pembangunan Serikat yang selaras dengan militer dan mantan jenderal, Soe Maung, telah mencari sidang Mahkamah Agung atas dugaan penyimpangan tersebut.

Dereck Aw, analis utama Myanmar di Control Risks menilai bahwa "militer tengah mendorong klaim kecurangan pemungutan suara --yang tidak berdasar-- bukan untuk memperebutkan atau membatalkan hasil pemilu tetapi untuk menyelamatkan wajah setelah kalah dalam pemilu."

"Mereka menggunakan tuduhan itu sebagai pengaruh dalam negosiasi penting yang terjadi antara Tatmadaw dan NLD saat ini."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya