Uni Eropa Jatuhi Sanksi untuk 10 Pemimpin Myanmar

Ribuan orang telah ditangkap sejak kudeta dan sedikitnya 738 warga sipil telah terbunuh, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik kelompok hak asasi manusia di Myanmar.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 20 Apr 2021, 15:02 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2021, 15:02 WIB
FOTO: Aksi Protes Kudeta Militer Myanmar Terus Berlanjut
Pengunjuk rasa antikudeta memberikan penghormatan tiga jari selama demonstrasi dekat Stasiun Kereta Api Mandalay di Mandalay, Myanmar, Senin (22/2/2021. Sejak kudeta pada 1 Februari 2021, masyarakat Myanmar masih terus menggelar protes. (AP Photo)

Liputan6.com, Brussel - Uni Eropa (UE) telah menjatuhkan sanksi terhadap 10 pemimpin militer Myanmar, serta dua konglomerat akibat kudeta yang mereka lakukan sejak 1 Februari 2021. Tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa yang menuntut kembalinya pemerintah terpilih, juga jadi alasan UE menjatuhkan sanksi.

Sanksi Uni Eropa mencakup pembekuan aset dan pelarangan visa. Negara-negara anggota UE mengatakan individu-individu tersebut "semua bertanggung jawab atas kerusakan demokrasi dan supremasi hukum di Myanmar dan atas keputusan yang represif serta pelanggaran hak asasi manusia yang serius".

Dewan Administrasi Negara Myanmar (SAC), yang dibentuk oleh militer sehari setelah merebut kekuasaan, "bertanggung jawab atas kerusakan demokrasi dan supremasi hukum", kata Uni Eropa dalam Jurnal Resmi, demikian dikutip dari laman Al Jazeera.

"Pasukan dan otoritas militer yang beroperasi di bawah kendali SAC telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius sejak 1 Februari 2021, menewaskan pengunjuk rasa sipil dan tidak bersenjata," kata Uni Eropa.

Sembilan dari mereka yang terpilih adalah anggota Dewan Administrasi Negara. Menteri Informasi Myanmar U Chit Naing juga dikenai sanksi.

 

Saksikan Video Berikut Ini:


Laporan Terkini Myanmar

Makin Mencekam, Demonstran Myanmar Lawan Polisi Pakai Busur Panah
Para pengunjuk rasa mengumpulkan ban untuk menambah api yang dipasang selama unjuk rasa menentang kudeta militer di kota Tarmwe di Yangon, Myanmar (27/3/2021). (AP Photo)

Myanmar telah diguncang protes hampir setiap hari sejak kudeta. Militer telah meningkatkan upayanya untuk menghancurkan perbedaan pendapat bahkan ketika mendapat tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Barat.

Ribuan orang telah ditangkap sejak kudeta dan sedikitnya 738 warga sipil telah terbunuh, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik kelompok hak asasi manusia, yang memantau situasi.

Lebih dari 4.000 orang telah ditangkap dan 3.261 masih ditahan, menurut kelompok tersebut, yang dituduh militer menyebarkan 'berita palsu'.

Para konglomerat memiliki kepentingan bisnis yang luas termasuk pusat perbelanjaan, tempat pembuatan bir, tempat hiburan dan tembakau.

Amerika Serikat dan Inggris telah menjatuhkan sanksi pada bisnis tersebut dan AS juga telah memberikan sanksi kepada perusahaan besar di Myanmar.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan setelah pembicaraan virtual dengan rekan-rekannya di Uni Eropa Senin (19/4), militer "mengarahkan negara ke jalan buntu".

"Itulah sebabnya kami meningkatkan tekanan untuk membawa militer ke meja perundingan".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya