Bom Meledak di Afrika Tengah hingga Tewaskan 5 Orang

Sebuah bom meledak di Afrika Tengah hingga menewaskan 5 orang.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 31 Mei 2021, 05:30 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2021, 05:30 WIB
ilustrasi ledakan bom.
ilustrasi ledakan bom. (iStockphoto)

Liputan6.com, Bangui - Sebuah konvoi militer menghantam bom pinggir jalan di barat laut Republik Afrika Tengah yang dilanda konflik, menyebabkan dua petugas polisi dan tiga paramiliter Rusia tewas, kata pemerintah pada Minggu (30/5/2021).

Ketegangan tinggi di negara berpenduduk 4,7 juta itu terjadi sejak pemilihan presiden Desember lalu, meskipun lonjakan kekerasan baru-baru ini hanyalah yang terbaru dalam perang saudara yang telah berlangsung sejak penggulingan Presiden Francois Bozize pada 2013. Demikian seperti mengutip VOA, Senin (31/5/2021). 

"Tiga sekutu Rusia dan dua petugas polisi Afrika Tengah tewas," juru bicara pemerintah Ange Maxime Kazagui mengatakan kepada AFP, sementara sumber PBB mengatakan serangan yang terjadi pada Kamis (27/5) itu juga melukai lima anggota pasukan keamanan Afrika Tengah.

Mereka mengatakan konvoi itu diledakkan di jalan antara Berberati dan Bouar, lebih dari 400 kilometer (250 mil) dari ibu kota Bangui.

Sebuah helikopter Rusia dikirim ke tempat kejadian untuk memulihkan tubuh para korban dan yang terluka, kata sumber tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pengaruh Rusia

FOTO: Parade Militer Hari Kemenangan Rusia
Helikopter militer Rusia mengibarkan bendera nasional Rusia saat parade militer Hari Kemenangan di Moskow, Rusia, Minggu (9/5/2021). Parade militer ini untuk memperingati 76 tahun berakhirnya Perang Dunia II di Eropa. (AP Photo/Alexander Zemlianichenko Jr.)

Moskow memiliki pengaruh signifikan di negara Afrika yang miskin tersebut sejak 2018, dan mempertahankan kontingen besar "instruktur" untuk melatih tentara Afrika Tengah.

Mereka bergabung pada bulan Desember oleh ratusan lagi paramiliter Rusia, bersama dengan pasukan Rwanda, yang merupakan kunci dalam membantu tentara Presiden Faustin Archange Touadera untuk menggagalkan pemberontakan.

Bangui menyebut "militer" Rusia dalam kesepakatan pertahanan bilateral, sebelum Moskow mengoreksinya dengan menyebut mereka sebagai "instruktur".

Sejumlah saksi dan LSM mengatakan instruktur sebenarnya adalah paramiliter dari Grup Wagner, sebuah perusahaan militer swasta bayangan yang secara aktif berpartisipasi dalam perang melawan pemberontak Afrika Tengah, bersama pasukan khusus Rwanda dan penjaga perdamaian PBB.

Pada hari Jumat, PBB mengatakan 11 orang tewas dalam waktu kurang dari sebulan oleh ranjau di negara itu, terutama di barat laut tempat beberapa benteng terakhir kelompok pemberontak berada.

Kehadiran bom pinggir jalan dan ranjau adalah fenomena yang agak baru di negara ini, meski konflik bertahun-tahun.  

Sebagian besar wilayah bekas jajahan Prancis yang tidak stabil itu terbagi di antara banyak kelompok bersenjata.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya