Liputan6.com, Jakarta - Pihak berwenang Korea Selatan gagal menangani dengan tepat kejahatan seks digital yang marak di negara itu terhadap perempuan, yang berdampak buruk pada para korban, menurut laporan Human Rights Watch (HRW), Rabu (16/6/2021).
Korea Selatan adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-12 di dunia dan kekuatan teknologi terkemuka, tetapi tetap memiliki populasi masyarakat yang didominasi laki-laki dengan catatan buruk tentang hak-hak perempuan.
Mengutip Channel News Asia, kejahatan seksual digital, atau berbagi gambar maupun video intim tanpa izin, adalah masalah besar di negara ini, di mana video "molka" atau kamera pengintai yang direkam secara diam-diam di tempat umum adalah hal biasa, seperti halnya "porno balas dendam" - video seks pribadi yang direkam atau dibagikan secara non-konsensual oleh pihak mantan yang tidak puas.
Advertisement
Pejabat Korea Selatan "dalam sistem hukum pidana - kyang ebanyakan adalah laki-laki - sering kali tampaknya tidak mengerti, atau tidak menerima, bahwa ini adalah kejahatan yang sangat serius", kata Heather Barr dari HRW, penulis laporan.
Pada 2019, hampir 45 persen kasus kejahatan digital seksual dibatalkan oleh penuntutan negara itu, dibandingkan dengan 19 persen kasus perampokan dan 27,7 persen pembunuhan, kata laporan itu.
Bahkan ketika ada hukuman, ditemukan hampir 80 persen pelaku hanya menerima "hukuman percobaan, denda, atau kombinasi keduanya" pada tahun lalu.
"Kejahatan seks digital telah menjadi begitu umum, dan sangat ditakuti ... mereka mempengaruhi kualitas hidup semua wanita dan anak perempuan," kata Barr.
Maraknya Kamera Tersembunyi
Spycams atau kamera tersembunyi telah menjadi begitu umum sehingga petugas polisi wanita sekarang secara teratur memeriksa toilet umum, dengan wanita mengatakan kepada HRW bahwa mereka menghindari untuk menggunakan fasilitas sepenuhnya.
Seorang wanita yang berbicara dengan Barr diberi jam oleh majikan laki-laki, yang dia taruh di kamar tidurnya - baru kemudian mengetahui bahwa perangkat itu telah disambungkan dan membagikan rekaman kepadanya selama lebih dari sebulan.
Para korban sering kali merasa sangat malu dan dikucilkan secara sosial, dan "angka yang mengkhawatirkan" memberi tahu HRW bahwa mereka telah mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Laporan itu muncul ketika grup anti-feminis tumbuh di Korea Selatan, dengan perusahaan yang dituduh mendukung "feminisme radikal" diboikot oleh beberapa pria.
Barr mengatakan "pandangan berbahaya yang diterima secara luas" tentang perempuan dan anak perempuan adalah akar penyebab fenomena tersebut.
Terkait hal ini, pemerintah "belum mengirimkan pesan yang jelas dan tegas bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara," katanya.
Advertisement