Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim mendesak Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara untuk berbicara dan meminta pertanggungjawaban pemimpin militer Myanmar, atas pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan. Kendati demikian ia mengatakan negara itu harus tetap berada di blok regional.
Anwar Ibrahim, yang menjabat pada November 2022 lalu, telah menjadi salah satu pengkritik paling vokal di ASEAN terhadap militer Myanmar, yang merebut kekuasaan dari pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis pada 2021.
Baca Juga
Dalam kunjungan ke Filipina, ia membahas krisis Myanmar dengan Presiden Ferdinand Marcos Jr. pada Rabu 1 Maret 2023 dan meminta ASEAN untuk mengeksplorasi cara-cara baru, untuk membujuk para jenderal yang berkuasa di Myanmar untuk menghentikan kekerasan.
Advertisement
Keesokannya, Anwar Ibrahim mengunjungi University of the Philippines dan memberikan sesi kuliah singkat, di mana ia menerima gelar kehormatan untuk mengadvokasi demokrasi dan memerangi korupsi.
"Mereka perlu berbuat lebih banyak karena itu menyebabkan masalah besar bagi kami, kami memiliki 200.000 pengungsi Myanmar di Malaysia saja," kata Anwar, dikutip dari AP, Kamis (2/3/2023).
Dalam pidatonya, PM Malaysia itu mendesak ASEAN untuk angkat bicara tentang kekejaman di Myanmar dan tidak dikekang oleh prinsip dasar kelompok tersebut untuk memutuskan melalui konsensus dan non-intervensi dalam urusan domestik masing-masing.
Anwar mengatakan bahwa memutuskan dengan konsensus tidak berarti bahwa ASEAN harus tetap diam atas perkembangan di negara-negara anggota yang memengaruhi kawasan lainnya. Ia menambahkan bahwa pelanggaran piagam ASEAN yang sangat parah oleh anggotanya sendiri juga sebaiknya jangan diabaikan.
"Sejujurnya, saya percaya bahwa non-interferensi bukanlah lisensi untuk ketidakpedulian," katanya.
Â
Pendapat Anwar Lebih Lanjut
Menurut Anwar, dengan membantu meminta pertanggungjawaban ke pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan di Myanmar, ASEAN akan tetap setia pada cita-cita utamanya untuk menegakkan keadilan dan supremasi hukum.
Ia mengutip deskripsi pahlawan nasional Filipina Jose Rizal tentang keadilan "sebagai kebajikan utama dari peradaban ras. Itu menaklukkan negara-negara barbar sementara ketidakadilan membangkitkan yang paling lemah."
Sejak pengambilalihan militer di Myanmar, pasukan keamanan telah membunuh ribuan warga sipil dan penyisiran tentara di pedesaan telah membuat lebih dari satu juta orang mengungsi. Pada 2017, kampanye kontra-pemberontakan brutal terhadap minoritas Muslim Rohingya mendorong lebih dari 740.000 orang melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, di mana mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi.
Para pemimpin ASEAN kemudian menyusun rencana perdamaian lima poin yang menyerukan segera diakhirinya kekerasan, kunjungan utusan khusus ASEAN untuk mendorong dialog di antara pihak-pihak yang bertikai dan penyediaan bantuan kemanusiaan. Pemerintah militer Myanmar pada awalnya menyetujuinya, tetapi kemudian menghalangi penerapannya.
Negara-negara Barat telah mengambil tindakan yang lebih keras, termasuk sanksi politik dan ekonomi terhadap para jenderal dan kroninya. Di bawah tekanan internasional yang kuat untuk berbuat lebih banyak, ASEAN mengecualikan pejabat tinggi Myanmar dari pertemuan blok tersebut pada 2021.
Anwar mengatakan kepada AP bahwa ia tidak meminta Myanmar untuk diskors dari keanggotaan ASEAN, meskipun sebelumnya menyebutkan "kebutuhan untuk sementara tidak berhubungan dengan Myanmar". Sebaliknya, ASEAN harus mencari lebih banyak cara untuk mengakhiri krisis dan tidak membiarkan Myanmar menghambat kemajuan politik dan ekonomi kelompok itu.
"Maksud saya, kesampingkan mereka," kata Anwar. Myanmar "seharusnya tidak menggagalkan pekerjaan kami."
Advertisement
Junta Militer Myanmar Umumkan UU Baru Soal Parpol, Bikin Oposisi Tidak Berkutik
Sementara itu, militer Myanmar baru-baru ini telah mengumumkan undang-undang baru yang ketat tentang partai politik. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang keadilan pemilu yang dijanjikan pada Agustus mendatang.
Undang-undang baru, yang menggantikan undang-undang pada 2010, melarang partai dan kandidat yang dianggap memiliki hubungan dengan individu atau organisasi yang "ditetapkan sebagai pelaku aksi teror" atau dianggap "melanggar hukum".
Partai-partai yang ingin ikut serta dalam pemilu nasional juga perlu mengamankan setidaknya 100.000 anggota dalam tiga bulan pendaftaran dan memiliki dana 100 juta kyat Myanmar atau US$45.500, yang disimpan di Bank Ekonomi Myanma milik negara. Jumlah itu 100 kali lebih banyak dari aturan sebelumnya, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (27/1/2023).
Undang-undang, yang ditandatangani oleh pemimpin kudeta Min Aung Hlaing, diumumkan via kantor berita Global New Light of Myanmar yang dikelola negara pada Jumat.
Ketentuan lainnya dalam undang-undang baru menyatakan bahwa setiap partai yang ada harus mengajukan permohonan pendaftaran dalam waktu dua bulan sejak undang-undang diumumkan atau "secara otomatis dibatalkan". Partai juga dapat ditangguhkan selama tiga tahun dan akhirnya dibubarkan karena dianggap gagal memenuhi ketentuan undang-undang yang baru.
Junta Militer Myanmar Perpanjang Status Keadaan Darurat, Pemilu Ditunda
Sebelumnya, junta militer Myanmar pada Rabu (2/2/2023) juga mengumumkan perpanjangan status keadaan darurat yang diberlakukan ketika mereka merebut kekuasaan dua tahun lalu, sebuah langkah yang memundurkan rencana untuk menggelar pemilu pada Agustus mendatang.
Pengumuman di televisi MRTV yang dikelola negara mengatakan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC), yang bertemu pada Selasa, memutuskan memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan lagi karena negara masih dalam situasi yang tidak normal dan waktu diperlukan untuk mempersiapkan pemilu yang damai dan stabil, dikutip dari VOA, Jumat.
Tidak ada tanggal pasti yang diumumkan untuk pemilu Myanmar. Namun, laporan pada Rabu menyebutkan, pemilu akan diadakan setelah status keadaan darurat dicabut.
Status keadaan darurat memungkinkan militer untuk menjalankan semua fungsi pemerintahan, memberi Min Aung Hlaing kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Pengumuman perpanjangan status keadaan darurat tepat pada peringatan dua tahun kudeta dipandang sebagai pengakuan bahwa militer telah gagal memadamkan oposisi yang meluas terhadap kekuasaan militer, termasuk perlawanan bersenjata yang semakin menantang serta protes dan pembangkangan sipil.
Advertisement