Liputan6.com, Beijing - Gelombang COVID-19 terbaru di China diperkirakan mencapai puncaknya bulan ini, dengan 11 juta kasus per minggu. Hal ini diungkapkan oleh perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris, Airfinity.
Dilansir SCMP, Jumat (9/6/2023), wabah baru yang dipicu oleh subvarian Omicron XBB, diperkirakan jauh lebih kecil daripada gelombang infeksi massal yang melanda negara tersebut pada musim dingin setelah Beijing mengakhiri kebijakan nol-Covid.
Baca Juga
"Pemodelan kami memperkirakan gelombang akan memuncak pada awal Juni dengan sekitar 11 juta kasus per minggu, di mana 112 juta orang terinfeksi," ungkap Airfinity.
Advertisement
Pada Mei 2023, ahli pernapasan China Zhong Nanshan membuat perkiraan lebih tinggi. Prediksinya, kasus COVID-19 di negara itu dapat mencapai 65 juta per minggu pada akhir Juni - enam kali lebih tinggi dari proyeksi Airfinity.
Zhong tidak menyebutkan apakah perkiraannya termasuk kasus tanpa gejala, namun Airfinity mengatakan bahwa pemodelannya hanya perkiraan kasus dengan gejala.
Tidak ada data COVID-19 resmi saat ini. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC China) berhenti merilis data mingguan pada awal Mei ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa COVID-19 tidak lagi menjadi darurat kesehatan global.
Menurut sebuah laporan di China CDC Weekly pada April, sekitar 80 persen dari 1,4 miliar penduduk China terinfeksi COVID-19 selama musim dingin.
Memicu Kurang dari 1 Juta Kematian
Menurut Airfinity, gelombang COVID-19 terbaru China diperkirakan menyebabkan kurang dari 1 juta kematian. Prediksi itu berdasarkan angka kematian di negara lain yang telah melalui gelombang COVID-19 subvarian XBB.
Angka tersebut jauh lebih rendah dari 1,3 juta hingga 2,1 juta yang diperkirakan oleh Airfinity selama gelombang COVID-19 musim dingin.
Ahli epidemiologi COVID-19 dari Airfinity Tishya Venkatraman mengatakan bahwa gelombang kedua China tidak separah yang pertama karena ada peningkatan kekebalan.
"Meskipun gelombang yang sedang berlangsung cenderung lebih kecil, itu masih dapat menyebabkan banyak kematian karena ukuran populasi yang menua di China," terang Venkatraman. "Kami telah melihat ini di Jepang, di mana gelombang terakhir menyebabkan banyak kematian meskipun memiliki cakupan vaksinasi yang tinggi dan kekebalan populasi."
Â
Advertisement