Majelis Umum PBB Kutuk Embargo Ekonomi AS terhadap Kuba Selama 32 Tahun

AS dan Kuba sempat menormalisasi hubungan pada era Obama, namun itu tidak berlangsung lama.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 02 Nov 2024, 10:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2024, 10:00 WIB
Ilustrasi warga Havana, Kuba.
Ilustrasi warga Havana, Kuba. (Dok. Pixabay)

Liputan6.com, New York - Majelis Umum PBB memberikan suara mayoritas pada hari Rabu (30/10/2024) untuk mengutuk embargo ekonomi Amerika Serikat (AS) terhadap Kuba yang sudah berlangsung selama 32 tahun.

Pemungutan suara di badan dunia beranggotakan 193 orang itu menghasilkan 187-2, dengan hanya AS dan Israel yang menentang resolusi tersebut dan satu abstain.

"Pemerintahan Presiden Joe Biden biasanya mengklaim bahwa kebijakannya dimaksudkan untuk membantu dan mendukung rakyat Kuba," kata Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez, menyalahkan tekanan maksimum AS menyulitkan Kuba mengimpor bahan bakar yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi pemadaman listrik yang meluas, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu (2/11). "Siapa yang akan percaya pernyataan seperti itu?"

Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, namun mencerminkan opini dunia dan pemungutan suara tersebut telah memberi Kuba panggung tahunan untuk menunjukkan bahwa AS berdiri sendiri dalam upayanya selama puluhan tahun untuk mengisolasi negara itu.

Kuba tengah berjuang melawan salah satu krisis ekonomi dan energi terburuk dalam sejarahnya. Selain gelombang pemadaman listrik, warga negaranya frustrasi karena kekurangan pangan dan inflasi. Ratusan ribu orang telah bermigrasi, banyak yang menuju ke AS.

Embargo ekonomi diberlakukan pada tahun 1960 setelah revolusi yang dipimpin oleh Fidel Castro dan nasionalisasi properti milik warga negara dan perusahaan AS. Dua tahun kemudian, embargo diperkuat.

Pada Juli 2016, presiden Kuba dan presiden AS saat itu Raul Castro dan Barack Obama secara resmi memulihkan hubungan. Namun penerus Obama, Donald Trump, mengkritik tajam catatan hak asasi manusia Kuba dan hubungan kedua negara pun kembali renggang.

Wakil Duta Besar AS Paul Folmsbee mengatakan di Majelis Umum PBB bahwa AS sangat mendukung upaya rakyat Kuba untuk mencapai masa depan yang menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

"Sanksi adalah salah satu elemen dari upaya kita yang lebih luas untuk memajukan demokrasi dan mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di Kuba," ujar Folmsbee.

Dia mencatat bahwa sekitar 1.000 tahanan politik telah ditahan secara tidak adil di Kuba.

Folmsbee menuturkan sanksi AS mengecualikan makanan, obat-obatan, dan barang-barang pokok lainnya dan bahwa AS mengekspor hampir USD 336 juta dalam bentuk produk pertanian serta mengesahkan ekspor demi kemanusiaan tambahan tahun lalu.

Pada Mei, AS mencabut beberapa pembatasan keuangan terhadap Kuba dalam upaya meningkatkan sektor swasta di sana. Hal itu termasuk mengizinkan wirausahawan independen membuka dan mengakses rekening bank AS secara daring untuk mendukung bisnis mereka serta langkah-langkah membuka lebih banyak layanan berbasis internet dan memperluas kemampuan perusahaan swasta untuk melakukan transaksi keuangan tertentu.

Namun, Rodriguez menggarisbawahi bahwa di bawah kepemimpinan Biden, Kuba telah kehilangan lebih dari USD 16 miliar dan bahwa langkah-langkah yang diumumkan tahun lalu sebagai dugaan upaya meringankan embargo tidak efektif.

Menyoroti Pilpres AS pekan depan, Rodriguez mengatakan pemenangnya akan memiliki kesempatan untuk memutuskan apakah akan melanjutkan tindakan pengepungan yang tidak manusiawi selama enam dekade terakhir atau memungkinkan negaranya mengembangkan potensi dan kemampuannya.

Rodriguez menegaskan Kuba akan mempertahankan haknya untuk membangun masa depan sosialis yang independen.

Namun, dia juga mengatakan Kuba bersedia mengadakan dialog serius dan bertanggung jawab serta bergerak maju menuju hubungan yang konstruktif dan beradab dengan pemerintahan AS yang baru.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya