Kisah Ilmuwan yang Lari dari Nazi Atas Saran Albert Einstein

Banyak ilmuwan lari ke luar negeri saat Nazi memerintah Jerman. Pengungsi paling berkualitas dalam sejarah.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 17 Jul 2013, 16:24 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2013, 16:24 WIB
ilmuan-nazi130717b.jpg
Suatu hari di 1933, keluarga Gustav Born disarankan untuk melarikan diri, segera angkat kaki dari Jerman yang dikuasai Nazi.

Bukan pegawai pemerintah baik hati yang menganjurkan, tapi dari Albert Einstein, yang menyarankan sahabatnya sesama ilmuwan Max Born -- ayah Gustav -- "untuk secepatnya pergi" beserta seluruh keluarga, selagi masih sempat.

Anjuran itu dituruti Max Gustav. Cepat-cepat, ia dan keluarganya mengepak barang-barang bawaan dan menuju ke perbatasan. Pertama, mereka menjejakkan kaki Italia, lalu ke Inggris -- yang jadi tujuan. Mereka menjadi bagian dari paling berkualitas dan terbaik dalam sejarah.

Saat itu, Gustav Born baru berusia 11 tahun. Masa kecil ia habiskan di  Gottingen, Lower Saxony. Ayahnya, Max, menjadi direktur salah satu lembaga penelitian fisika terkemuka dunia.

Keluarga Born punya garis keturunan Yahudi. Saat Hitler memgang kendali kekuasaan, Max Born dan para koleganya yang berdarah Yahudi, dilarang bekerja di universitas. Kelompok elit ilmuwan teoritis tersebut berubah menjadi pencari suaka.
 
Gustav kini tinggal di London, beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-82, ia masih mengingat dengan jelas pelarian luar biasa kelompok akademisi Jerman. Percakapan dengannya seperti membuka Mitteleuropa, kapsul waktu dari tahun 1930-an.

Ia kini adalah salah satu saksi hidup terakhir dari kisah para pengungsi akademis Jerman-- yang beberapa di antaranya memenangkan 17 Nobel. Termasuk ayahnya, yang meraih Nobel atas kerjanya dalam bidang mekanika kuantum.

Apakah para ilmuwan itu menyadari ancaman besar di bawah kekuasan Nazi?

"Ya, kupikir ayahku menyadarinya. Sementara di kalangan ilmuwan Yahudi, beberapa sadar, lainnya tak meyakininya hingga beberapa waktu. Namun, apa yang akan Nazi lakukan menjadi jelas dalam 3-6 bulan," kata dia, seperti dimuat BBC, 16 Juli 2013.

Kemanusiaan

Gustav masih ingat diskriminasi di masa kecilnya, saat teman-temannya yang lain dilarang bermain dengannya.

Tapi juga ada teladan positif sesama manusia, yang terlihat dalam sikap sejumlah akademisi yang membela para kolega mereka. Seperti yang dilakukan peraih Nobel, Max von Laue.

Fisikawan Max Planck bahkan langsung pergi menemui Hitler, menentang diskriminasi terhadap ilmuwan Yahudi. Namun, "Dengan mulut berbusa-busa, Hitler tak mengizinkan ia meneruskan kata-katanya."

Tapi toh akhirnya Max Born harus menyerahkan karirnya. Sementara ibu Gustav patah hati dengan prospek menjadi imigran.

Penyelamatan

Saat keluarga Born melihat lambang Nazi di Gottingen, sejumlah staf universitas di Inggris sudah melakukan langkah-langkah penyelamatan.

Ekonom William Beveridge mendirikan Dewan Bantuan Akademik yang tujuannya menyelamatkan kaum Yahudi dan akademik yang rentan secara politis. Organisasi ini membantu 1.500 akademisi dari Jerman dan melanjutkan riset mereka dengan aman di Inggris.

Sejumlah akademik, yang namanya kini terbaca seperti deretan buku teks klasik -- J B S Haldane, John Maynard Keynes, Ernest Rutherford, G M Trevelyan, dan penyair AE Housman -- memberikan dukungan. Juga Albert Einstein.

Dalam pidatonya, Einstein mengingatkan kembali soal nilai-nilai liberal Barat, yakni "toleransi dan keadilan" terhadap "godaan kebencian dan penindasan".

Dan adalah, "kebebasan individu yang telah membawa pada kita setiap kemajuan pengetahuan dan penemuan. Dan kebebasan tanpa menghormati orang lain, bukan kebebasan sejati."

Menurut data, ada sekitar 70 ribu pengungsi Yahudi yang datang ke Inggris sebelum perang pecah pada 1939.

Selain Inggris, ada juga ilmuwan yang pindah ke Amerika Serikat.  Matematikawan Richard Courant terbang ke New York. Di sana berdirilah pusat matematika terapan, Courant Institute of Mathematical Sciences -- yang diambil dari namanya.

Kehilangan para ilmuwan itu adalah luka yang dibuat sendiri oleh Nazi. Membuat mereka kalah dalam perlombaan pengembangan senjata atom. Para pengungsi Jerman memainkan peran kunci, untuk memastikan Amerika Serikat keluar sebagai pengembang.

Meskipun Max Born menolak atas dasar moral untuk bekerja pada penelitian senjata atom, Robert Oppenheimer, "bapak bom atom" kelahiran AS, adalah mahasiswa PhD Born di Gottingen.  

Dan Nazi menyadari kesalahannya.

Pada 1934, Max Born dan keluarganya di Cambridge dikunjungi Werner Heisenberg, pemenang hadiah Nobel, sekaligus rekan lama saat bekerja di Gottingen.

Ia tak sekedar bertamu, Heisenberg juga membawa pesan dari pemerintah Nazi untuk meneruskan kerja di Jerman. Undangan itu ditanggapi marah.

Tapi Max Born dan istrinya akhirnya kembali ke Jerman, setelah perang usai, sampai ia pensiun. Ia meninggal di Gottingen pada 1970 dan dimakamkan di pemakaman yang sama dengan Max Planck dan Max von Laue.

Gustav, yang menjadi profesor farmakologi di King College London, mengatakan bahwa orang tuanya telah berkomitmen untuk mencoba membangun kembali Jerman dengan cara yang akan mencegah kembalinya ekstremisme politik seperti itu.

Pelajaran apa yang harus dipelajari dari semua ini?

Gustav Born kini menjadi pendukung kuat dari kampanye untuk menyelamatkan akademisi dari kericuhan politik dan perang, dalam organisasi yang saat ini memasuki tahun ke-80.

Apa yang terjadi di Zimbabwe, Iran, Irak dan Suriah, atau di manapun di dunia "di mana masyarakat sipil tak lagi berfungsi" -- masih ada ilmuwan yang harus diselamatkan.

"Aku ingin orang-orang tidak lupa hal seperti ini. Tekanan oleh negara yang dikuasai oleh geng berisi penjahat dan pembunuh, orang-orang baik dengan niat baik dikorbankan -- itu bisa terjadi kembali." (Ein/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya