Liputan6.com, Jakarta AnekaAhoaks dan penggunaan isu agama untuk politik membuat kaum muda di perkotaan menilai bahwa kualitas demokrasi di Indonesia buruk.
Sebuah survei dari Atma Jaya Institute of Public Policy bersama dengan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Administrsai Bisnis dan Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta mengungkapkan hal ini.
Baca Juga
Dalam pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Jumat (1/3/2019), penelitian tersebut berfokus pada persepsi kaum milenial dan generasi Z terhadap demokrasi dan politik, media, serta kesiapan dalam menghadapi bonus demografi. Hasilnya, 65 persen (914) responden menganggap kualitas demokrasi Indonesia terbilang buruk (762 responden) dan sangat buruk (152 responden).
Advertisement
Para peneliti menemukan, politisasi isu agama menjadi alasan terbesar mengapa demokrasi di Indonesia sangat buruk (45 persen). Selain itu, beberapa alasan lain adalah hoaks (22 persen), korupsi (17 persen), dan radikalisme (11 persen).
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Â
Tetap memilih dalam pemilu 2019
Hal yang menarik, walaupun menganggap kualitas demokrasi di Indonesia buruk, 72 persen responden mengatakan bahwa mereka akan tetap memilih dalam pemilihan presiden tahun ini. Selain itu, 1.136 responden menyatakan mereka akan memilih dalam pemilihan legislatif 2019.
Menurut peneliti, ini menunjukkan adanya optimisme untuk mewujudkan politik dan demokrasi Indonesia yang rasional.
"Hasil ini juga mengindikasikan bahwa siapa pun yang akan menjadi presiden di tahun mendatang, seharusnya melihat kaum muda sebagai agen perubahan untuk politik yang lebih bermartabat," kata dosen Fakultas Psikologi UAJ, Indro Adinugraha.
Penelitian ini sendiri melibatkan 1.388 anak muda di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Mereka mendapatkan pertanyaan berupa kuesioner yang terbagi dalam pilihan ganda, isian singkat, dan skala sikap.
Berdasarkan tahun kelahirannya, peserta kelahiran 1998 menjadi yang terbanyak dengan jumlah 242 responden. Disusul oleh 219 peserta kelahiran antara 1996 dan 1998.
Advertisement