Ancam Kesehatan Anak, Ini 4 Rekomendasi untuk Pemerintah tentang Rokok

Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Jul 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2020, 22:00 WIB
Berhenti Merokok
Ilustrasi Foto Stop atau Berhenti Merokok (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Angka ini jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di 2019 yaitu 5,4 persen

Hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-.UI) pada 2018 menunjukkan anak-anak dari orang tua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan rata-rata lebih rendah 1,5 kg dan pertumbuhan tinggi badan rata-rata lebih rendah 0,34 cm daripada anak dari orangtua yang bukan perokok.

Dampak stunting tersebut juga berpengaruh terhadap intelegensi anak. “Perilaku merokok menimbulkan pergeseran (shifting) konsumsi. Uang yang dapat dibelikan makanan digunakan untuk membeli rokok oleh masyarakat miskin sehingga nutrisi tidak tercukupi dan akhirnya menimbulkan stunting pada anak.” jelas Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D, Ketua PKJS-UI dalam webminar PKJS-UI, Senin (27/7/2020).

Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumsi rokok adalah menaikan harga. Survei yang dilakukan PKJS-UI pada 2018 terhadap 1.000 responden memperlihatkan 88 persen responden mendukung kenaikan harga rokok agar anak-anak tidak membeli rokok. 

Simak Video Berikut Ini:

Mulai Dari Lingkungan Keluarga

Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Anggia Ermarini menambahkan, pendekatan keluarga juga sangat diperlukan dalam mengendalikan konsumsi rokok. Mereka berinisiatif untuk menciptakan lingkungan tanpa asap rokok yang dimulai dari lingkup keluarga, yaitu rumah.

Mengacu UU Perlindungan Anak, Fatayat NU menyadari bahwa anggota keluarga terutama anak-anak dan perempuan berhak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat tanpa asap rokok. Selain itu, selama pandemi COVID-19 anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Data Global Youth Tobacco Survey (2019) menunjukkan 57,8 persen pelajar terpapar asap rokok di rumah, serta 78,4 persen orang dewasa terpapar asap rokok orang lain di rumah.

“Beberapa perempuan anggota Fatayat NU sudah menjadikan rumah mereka kawasan tanpa rokok, termasuk di dalamnya tidak ada orang yang merokok, tidak tersedia asbak, tidak tercium asap rokok, tidak ada tempat khusus merokok, dan terdapat tanda dilarang merokok berupa stiker sebagai peringatan untuk tidak merokok di area rumah” jelas Anggia.

Rekomendasi untuk Pemerintah

Pengurus Fatayat NU dan PKJS-UI merekomendasikan Pemerintah Republik Indonesia beberapa kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang dapat segera diimplementasikan terutama di era Kebiasaan Baru COVID-19. Adapun beberapa rekomendasi tersebut adalah:

1. Menaikkan cukai tembakau untuk tahun 2021 sesuai dengan pertimbangan yang tertulis dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan RI tahun 2020-2024.

2. Melarang penjualan rokok ketengan dan membuat peraturan pelarangan penjualan rokok terhadap anak usia di bawah 18 tahun.

3. Menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara merata di seluruh Kabupaten/Kota tanpa terkecuali oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

4. Memasukkan agenda promosi kesehatan mengenai penerapan KTR di rumah, yang tidak kalah pentingnya di era COVID-19 oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya