Pria di Tapanuli Tengah Cabuli 30 Bocah Laki-Laki, Kini Masuk Daftar Pencarian Orang

Kekerasan seksual menimpa sekitar 30 anak laki-laki di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara dan pelakunya adalah seorang pria berinisial HCP.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Des 2023, 16:00 WIB
Diterbitkan 01 Des 2023, 16:00 WIB
Pria di Tapanuli Tengah Cabuli 30 Bocah Laki-Laki, Kini Masuk Daftar Pencarian Orang
Pria di Tapanuli Tengah Cabuli 30 Bocah Laki-Laki, Kini Masuk Daftar Pencarian Orang. (Dok. Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Tindak pidana kekerasan seksual atau TPKS kembali terjadi di Indonesia tepatnya di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Kekerasan seksual ini menimpa sekitar 30 anak laki-laki dan pelakunya adalah seorang pria berinisial HCP. Pria usia 26 itu pun kini masuk dalam daftar pencarian orang atau DPO.

Kasus pencabulan ini telah mendapat tanggapan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, mengecam keras aksi pencabulan yang dilakukan HCP.

Dia menegaskan bahwa pihaknya mendorong aparat kepolisian segera menangkap pelaku kekerasan seksual itu.

“Kami mengecam keras aksi pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku HCP (26) terhadap korban yang diduga mencapai 30 anak laki-laki. Pelaku saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka meski masih buron dan kami berharap pelaku bisa ditangkap,” kata Nahar dalam keterangan resmi dikutip Jumat (1/12/2023).

“Kami mendukung kerja keras pihak aparat kepolisian yang masih memburu pelaku,” tambahnya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, Nahar menjelaskan pelaku diduga melancarkan aksinya sejak tahun 2022.

Awalnya, korban diajak bermain game dan saat korban lengah, pelaku melakukan aksi cabulnya. Hingga akhirnya salah satu korban berusia 10 tahun melaporkan kejadian tersebut ke orangtuanya. Dari pengakuan korban itulah, orangtua melaporkan tindak pidana kekerasan seksual tersebut ke Polres Tapanuli Tengah.

Lakukan Pendampingan Hukum dan Psikologis

Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar soal pencabulan anak.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar soal pencabulan anak.

Terkait kasus ini, KemenPPPA melalui Tim Layanan SAPA 129 berupaya menjangkau para korban. Penjangkauan dilakukan dengan koordinasi Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sumatera Utara.

“KemenPPPA dalam upaya penjangkauan, melakukan asesmen awal, pendampingan hukum, dan pendampingan psikologis terhadap para korban yang merupakan Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) untuk memberikan penanganan sesuai kebutuhan,” jelas Nahar.

“Selain korban, pelaku juga perlu melakukan pemeriksaan psikologi untuk melihat apakah ada kemungkinan kelainan seksual yang dimilikinya,” imbuhnya.

Jika Pelaku Terbukti Bersalah

Nahar mengatakan, jika pelaku terbukti melakukan tindak pidana kekerasan seksual, maka pelaku terancam sanksi pidana. Yakni hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dan/atau khususnya melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Hukumannya pun sesuai pasal 82 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam hal tindak pidana pencabulan menimbulkan korban lebih dari satu orang ditambah sepertiga dari ancaman pidana sesuai pasal 82 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bisa Dikenai Pidana Tambahan

Berdasarkan pasal 82 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan.

Pidana tambahan ini berupa pengumuman identitas pelaku. Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4), pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Ini sesuai pasal 82 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Nahar pun menegaskan, dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan.

“Kami pun mendorong agar para Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada terduga pelaku atas tindakannya yang tidak hanya merugikan korban, namun juga menimbulkan akibat yang luar biasa seperti gangguan psikologis berupa trauma berkepanjangan dan juga gangguan seksual,” tambah Nahar.

Terakhir, Nahar mengajak masyarakat yang melihat atau mengalami kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Seperti UPTD PPA, UPT Bidang Sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian.

Selain itu, masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129 yang dikelola oleh KemenPPPA.

Infografis Daftar Penyedia Layanan Konsultasi Korban Kekerasan Seksual
Infografis Daftar Penyedia Layanan Konsultasi Korban Kekerasan Seksual. (Trisyani/Liputan6.com).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya