Liputan6.com, Jakarta - Epidemiolog Dicky Budiman baru-baru ini mengomentari soal kasus Demam Berdarah Dengue atau DBD di Kabupaten Karawang.
Menurut informasi yang ia dapat, Kabupaten Karawang melaporkan 182 kasus DBD hingga Februari 2024. Jumlah ini pertama kali dilaporkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Karawang, Yayuk Sri Rahayu pada Senin, 26 Februari 2024.
Baca Juga
Dicky berpendapat, kenaikan kasus ini adalah akibat dari musim penghujan yang memperluas tempat perkembangbiakan nyamuk penyebar dengue.
Advertisement
“Saat ini memang musim penghujan dan biasanya pada musim penghujan kasus demam berdarah bisa meningkat. Bisa dua, tiga, bahkan lima kali lipat dari biasanya. Terutama disebabkan karena jumlah atau sebaran genangan air yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk jadi lebih banyak dan lebih merata,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Selasa (27/2/2024).
Peningkatan kasus DBD di Kabupaten Karawang juga mendapat tanggapan dari dokter spesialis penyakit dalam - konsultan penyakit tropik infeksi Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo.
Menurut Soroy, anomali cuaca memang sangat berperan pada perkembangbiakan vektor nyamuk di suatu daerah. Ini terkait pula dengan tingkat kelembaban.
“Kasus di Karawang mungkin juga terkait dengan masalah tingkat kelembaban dan anomali cuaca, ya memang perubahan iklim ini memungkinkan untuk meningkatkan DBD. Di daerah itu mungkin tingkat kelembabannya meningkatkan perkembiakan nyamuk jadi lebih aktif ditambah banyak area air,” kata Soroy dalam diskusi daring bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” Selasa (27/2/2024).
Perlu Kerja Sama dengan Ahli Cuaca
Mengingat DBD berkaitan erat dengan anomali cuaca dan kelembapan, Soroy menilai bahwa perlu peran berbagai ahli dalam mengatasi DBD.
Tidak hanya klinisi ata ahli kesehatan, Soroy merasa perlu adanya pelibatan ahli lain misalnya dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Jadi memang tidak hanya saya sebagai klinisi bidang infeksi, tapi memang untuk menangani ini perlu ahli kesehatan masyarakat bahkan perlu badan meteorologi (BMKG) untuk menentukan tingkat kelembaban,” katanya.
Advertisement
Waspada DBD pada Anak
Dalam kesempatan yang sama, Soroy mengimbau agar masyarakat waspada terhadap DBD, jangan sampai penyakit ini dialami oleh anak.
“Jadi kalau pada anak memang harus lebih concern dalam melihat masalah DBD karena sistem imunnya belum tumbuh maksimal,” jelas Soroy.
Orangtua pun tak boleh lengah ketika demam anak yang terjangkit DBD mulai turun. Pasalnya, orangtua kerap mengabaikan fase kritis DBD yang terjadi pada anak.
Fase kritis DBD bisa ditandai dengan demam tinggi yang mulai mengalami penurunan sehingga dianggap bahwa demam anak telah sembuh. Padahal, itu adalah fase kritis yang perlu lebih diwaspadai.
Alasan Masalah DBD Indonesia Belum Kunjung Usai
Penanganan terhadap DBD telah dilakukan sejak lama di Indonesia. Namun, permasalahannya tak kunjung usai. Hal ini karena Indonesia adalah negara yang luas, ditambah DBD adalah masalah yang kompleks.
"Negara kita memang sangat luas, masalah DBD ini sangat kompleks, ada simpul hulu dan simpul hilir."
"Kenapa (masalah DBD) ada sampai sekarang? Sebenarnya upaya kita sudah sangat maksimal, sudah banyak riset yang dilakukan di lembaga Eijkman atau Badan Litbang Kemenkes."
Sayangnya, implementasi hasil riset masih belum dilakukan secara maksimal dan terintegrasi.
"Pada fase-fase yang berkaitan dengan implementasi hasil riset, itu yang masih belum. Jadi kita perlu ada bidang-bidang komunikasi publik kemudian langkah-langkah apa yang perlu dilakukan secara bertahap," tutup Soroy.
Advertisement