CISDI: Pemerintah Perlu Membuat Rokok Tidak Terjangkau Guna Tekan Beban Kesehatan

Kenaikan tarif cukai rokok sangat berpengaruh pada keputusan seseorang untuk merokok, semakin mahal maka prevalensi perokok semakin bisa ditekan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 27 Sep 2024, 08:39 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2024, 08:39 WIB
Tumbuhan tembakau di kakii Gunung Pangradinan, Bandung.
CISDI: Pemerintah Perlu Membuat Rokok Tidak Terjangkau Guna Tekan Beban Kesehatan. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Liputan6.com, Jakarta Konsumsi rokok memberi beban biaya kesehatan sebesar Rp17,9-27,7 triliun selama setahun pada 2019 akibat penyakit yang timbul dan berasosiasi dengan rokok.

Ini merupakan temuan dari riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang dirilis pada 2021.

Angka Rp17,9 hingga 27,7 triliun setara dengan 61,75 persen hingga 91,8 persen total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019.

“Artinya, pemerintah masih perlu membuat rokok tidak terjangkau untuk menekan beban kesehatan yang masih begitu besar,” kata Project Lead for Tobacco Control CISDI Beladenta Amalia mengutip keterangan pers, Jumat (27/9/2024).

Maka dari itu, pihak Beladenta bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyayangkan adanya rencana pembatalan kenaikan tarif cukai rokok pada 2025.

Ketiga organisasi ini mendesak Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, untuk menekan prevalensi perokok dan memutus rantai beban biaya kesehatan akibat rokok. Rokok jelas merugikan masyarakat dan perekonomian nasional, melalui kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2025 secara bertahap, dimulai dengan 25 persen di awal tahun, kemudian disesuaikan dengan inflasi ditambah 10 persen pada tahun berikutnya.

Selain itu, untuk mengurangi aksesibilitas anak-anak terhadap murahnya harga rokok saat ini, direkomendasikan untuk dilakukan peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) minimum dan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 5 hingga 3 golongan sebelum tahun 2029. Serta mendekatkan tarif antar golongan untuk mempersempit peluang perokok memilih merek yang lebih murah.

Kenaikan cukai rokok ini mencakup semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik dan tembakau iris, dengan kenaikan minimal 25 persen dan khusus untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) di atas 5 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Suatu Kemunduran dalam Upaya Perlindungan Kesehatan Publik

Menurut koalisi anti rokok ini, rencana pembatalan akan menjadi suatu kemunduran dalam upaya perlindungan kesehatan publik setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), khususnya pada pengamanan bahan zat adiktif.

Ketentuan dalam PP Kesehatan sebagai turunan UU No. 17/2023 atau UU Kesehatan mengatur tentang pembatasan penjualan rokok eceran per batang, pembatasan iklan rokok, dan peringatan kesehatan pada iklan rokok. PP ini juga tidak hanya mengatur peredaran produk tembakau tapi juga rokok elektronik, meningkatkan ukuran peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, hingga melarang penjualan rokok kepada orang di bawah usia 21 tahun.

Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok akan menghambat berbagai upaya pengendalian rokok yang telah direncanakan dan memberi dampak negatif terhadap kondisi kesehatan masyarakat dan keuangan negara.


Faktor Harga Sangat Berpengaruh pada Keputusan Orang untuk Merokok

Koordinator Riset PKJS-UI, Risky Kusuma Hartono menyampaikan keprihatinannya terhadap isu pembatalan ini.

“Kenaikan tarif cukai rokok merupakan alat yang paling efektif dalam mengurangi konsumsi rokok, yang merupakan faktor risiko utama dari berbagai penyakit tidak menular, seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan,” jelas Risky dalam keterangan pers dikutip Jumat (27/9/2024).

 Risky menambahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah secara tegas menyatakan bahwa menaikkan harga melalui kebijakan cukai adalah salah satu strategi pengendalian konsumsi rokok yang paling efektif.

“Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang memiliki prevalensi perokok tertinggi di dunia dan tanpa tindakan tegas, angka ini akan terus meningkat,” ujar Risky.

Pihaknya juga menilai berdasarkan studi-studi PKJS-UI yang telah dilakukan, faktor harga sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk merokok.

Studi PKJS-UI (2020) menunjukkan semakin mahal harga rokok maka semakin kecil peluang anak merokok. Harga rokok murah juga menjadi faktor yang mendorong anak kambuh untuk merokok kembali/smoking relapse setelah pernah berhenti (PKJS-UI, 2023).


Rokok Berkaitan Erat dengan Kemiskinan

Di samping keterjangkauan oleh anak-anak, masyarakat prasejahtera juga masih mudah membeli rokok sehingga membuat mereka sulit berhenti dari adiksi rokok.

Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan setiap 1 persen kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen poin pada rumah tangga. Artinya, konsumsi rokok memiliki pengaruh besar terhadap garis kemiskinan.

Selain menjadi alat pengendalian konsumsi rokok, kenaikan tarif cukai ini juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat dialokasikan untuk program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Dana yang dihasilkan dari cukai rokok dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pelayanan kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit yang diakibatkan oleh rokok.

Infografis Rokok Kalahkan Telur dan Ayam, Tertinggi Kedua Setelah Beras
Infografis Rokok Kalahkan Telur dan Ayam, Tertinggi Kedua Setelah Beras (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya