Pemotongan Pajak THR 2025: Aturan Baru, Perhitungan, dan FAQ

Pahami aturan terbaru pemotongan pajak THR 2025 di Indonesia, metode perhitungan Tarif Efektif Rata-rata (TER), dan perbedaannya untuk pegawai swasta dan PNS.

oleh Woro Anjar Verianty Diperbarui 25 Feb 2025, 17:20 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2025, 17:20 WIB
THR.
Ilustrasi uang THR. (Foto: Shutterstock)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Dalam menyambut momen spesial hari raya keagamaan, khususnya bagi umat Muslim yang merayakan Lebaran, Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi salah satu hal yang sangat dinantikan oleh para pekerja. Namun, di balik kegembiraan menerima THR, terdapat aspek pemotongan pajak THR yang perlu dipahami dengan baik oleh setiap karyawan maupun pemberi kerja. Pemotongan pajak THR merupakan kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perpajakan nasional.

Akhir-akhir ini, diskusi mengenai pemotongan pajak THR tengah ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Banyak pekerja yang merasa bingung dan bertanya-tanya mengenai mengapa THR yang mereka terima harus dipotong pajak, serta bagaimana perhitungan pemotongan pajak THR dilakukan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pemotongan pajak penghasilan (PPh) 21 karyawan untuk THR memang lebih besar dibandingkan bulan lainnya karena menggunakan metode perhitungan Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang sejalan dengan international best practice.

Pemahaman yang komprehensif tentang mekanisme pemotongan pajak THR menjadi sangat penting bagi setiap wajib pajak untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan. Artikel ini akan membahas secara lengkap tentang dasar hukum, mekanisme perhitungan, dan berbagai aspek penting lainnya terkait pemotongan pajak THR. Dengan memahami proses pemotongan pajak THR dengan baik, Anda dapat merencanakan keuangan dengan lebih bijak dan memaksimalkan manfaat dari tunjangan yang diterima.

Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber penjelasan lengkapnya, pada Selasa (25/2).

Dasar Hukum Pemotongan Pajak THR

apa arti thr
apa arti thr ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

THR atau Tunjangan Hari Raya merupakan pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan. Sebagai salah satu bentuk penghasilan, THR termasuk dalam objek Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan regulasi perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dasar hukum pemberian THR sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan PP 51/2023 tentang Pengupahan, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang THR bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Sementara itu, pengenaan pajak atas THR diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Pada Pasal 5 huruf beleid tersebut disebutkan bahwa penghasilan yang dipotong PPh 21 dan/atau PPh 26 termasuk penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur, dengan THR termasuk dalam kategori penghasilan tidak teratur.

Lebih lanjut, pengaturan terkait pajak THR dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan. Peraturan ini menjadi dasar teknis pengenaan pajak terhadap berbagai jenis penghasilan termasuk THR.

Selain itu, dasar hukum pengenaan pajak THR juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Semua regulasi ini secara bersama-sama membangun kerangka hukum yang kuat untuk pengenaan pajak atas THR yang diterima oleh pekerja di Indonesia.

 

Konsep dan Mekanisme Perhitungan Pajak THR

cara hitung thr
cara hitung thr ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Pemotongan pajak THR pada dasarnya menggunakan metode Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang bertujuan untuk mempermudah pemberi kerja dalam melakukan pemotongan pajak terhadap karyawan. Metode TER ini terbagi menjadi Tarif Efektif Bulanan (TERB) dan Tarif Efektif Harian (TERH). TERB digunakan untuk penghasilan tidak teratur yang diterima dalam satu bulan, sementara TERH diterapkan untuk penghasilan tidak teratur yang diterima dalam jangka waktu kurang dari satu bulan.

Dalam penerapannya, TERB dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Wajib Pajak di awal tahun pajak:

  • Kategori A: Untuk status PTKP TK/0, TK/1, dan K/0
  • Kategori B: Untuk status PTKP TK/2, TK/3, K/1, dan K/2
  • Kategori C: Untuk status PTKP K/3

Perhitungan pajak THR dilakukan dengan cara menjumlahkan penghasilan reguler (seperti gaji dan tunjangan tetap) dengan penghasilan tidak reguler (THR), kemudian mengalikan jumlah tersebut dengan tarif efektif yang sesuai. Misalnya, jika seorang karyawan dengan status PTKP K/1 menerima gaji bulanan sebesar Rp10 juta dan THR sebesar Rp10 juta, maka total penghasilan bruto dalam bulan tersebut adalah Rp20 juta. Jika tarif TER untuk penghasilan sebesar Rp20 juta dengan status K/1 adalah 9%, maka pajak yang harus dipotong adalah Rp1,8 juta.

Penting untuk dicatat bahwa pemotongan pajak THR hanya berlaku jika jumlah penghasilan tidak teratur yang diterima melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun. Jika total penghasilan neto setahun ditambah dengan THR masih berada di bawah nilai PTKP, maka THR yang diterima tidak akan dikenakan pajak.

Pada akhir tahun pajak, akan dilakukan perhitungan ulang untuk menentukan apakah terdapat kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak sepanjang tahun. Jika terdapat kelebihan pembayaran, maka selisihnya akan dikembalikan oleh pemberi kerja paling lambat pada akhir masa pajak berikutnya. Sebaliknya, jika terdapat kekurangan pembayaran, maka kekurangan tersebut akan dipotong pada bulan Desember (masa pajak terakhir) sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Perbedaan Tarif dan Kategori dalam Perhitungan Pajak THR

Pemotongan pajak THR di Indonesia menerapkan sistem tarif yang berbeda-beda berdasarkan beberapa faktor, seperti status perkawinan, jumlah tanggungan, dan besaran penghasilan bruto yang diterima oleh wajib pajak. Kompleksitas ini dirancang untuk menciptakan keadilan perpajakan dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi setiap wajib pajak.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023, tarif efektif bulanan (TERB) untuk Kategori A yang meliputi status wajib pajak TK/0 (tidak kawin tanpa tanggungan), TK/1 (tidak kawin dengan satu tanggungan), dan K/0 (kawin tanpa tanggungan) dimulai dari pendapatan bruto Rp5.400.000 hingga Rp5.650.000 dengan tarif 0,25%. Tarif ini kemudian meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan penghasilan, hingga mencapai 34% untuk penghasilan di atas Rp1.400.000.000.

Untuk Kategori B yang mencakup status wajib pajak TK/2 (tidak kawin dengan dua tanggungan), TK/3 (tidak kawin dengan tiga tanggungan), K/1 (kawin dengan satu tanggungan), dan K/2 (kawin dengan dua tanggungan), tarif efektif dimulai pada pendapatan bruto Rp6.200.000 hingga Rp6.500.000 dengan persentase 0,25%. Tarif ini juga meningkat secara bertahap hingga mencapai 34% untuk penghasilan di atas Rp1.405.000.000.

Sementara untuk Kategori C yang diperuntukkan bagi wajib pajak dengan status K/3 (kawin dengan tiga tanggungan), tarif efektif dimulai pada pendapatan bruto Rp6.600.001 hingga Rp6.950.000 dengan persentase 0,25%. Tarif ini terus meningkat hingga mencapai 34% untuk penghasilan di atas Rp1.419.000.000.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif yang dikenakan akan lebih tinggi, yaitu 120% dari tarif normal yang seharusnya diberlakukan. Hal ini menjadi insentif bagi masyarakat untuk memiliki NPWP sebagai bentuk kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, memiliki NPWP yang valid merupakan langkah penting dalam optimalisasi pajak THR.

Perbedaan Pemotongan Pajak THR Pegawai Swasta dan PNS

Salah satu aspek penting yang perlu dipahami dalam konteks pemotongan pajak THR adalah adanya perbedaan signifikan antara mekanisme yang berlaku bagi pegawai swasta dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Perbedaan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis perhitungan, tetapi juga siapa yang menanggung beban pajak tersebut.

Bagi pegawai swasta, pajak THR menjadi tanggung jawab pribadi karyawan. Perusahaan atau pemberi kerja berperan sebagai pemotong pajak (withholding agent) yang memotong langsung pajak THR dari penghasilan karyawan dan kemudian menyetorkannya ke kas negara. Dengan kata lain, jumlah THR yang diterima oleh karyawan swasta sudah dikurangi dengan pajak yang harus dibayarkan. Hal ini menyebabkan jumlah nominal THR yang diterima tidak utuh 100% sesuai dengan perhitungan awal.

Berbeda dengan pegawai swasta, untuk PNS, pajak atas THR ditanggung oleh pemerintah melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Ini berarti PNS menerima THR secara utuh tanpa potongan pajak karena pajaknya telah dibayarkan secara terpisah oleh pemerintah. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan yang menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Selain itu, terdapat perbedaan dalam dasar perhitungan THR antara pegawai swasta dan PNS. Untuk pegawai swasta, besaran THR minimal adalah satu bulan gaji pokok ditambah tunjangan tetap, sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016. Sedangkan untuk PNS, besaran THR ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan khusus yang dikeluarkan setiap tahunnya, biasanya dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Perbedaan ini menciptakan disparitas yang cukup signifikan dalam jumlah nominal THR yang diterima oleh pegawai swasta dan PNS. Meskipun besaran THR mungkin sama secara nominal, tetapi jumlah yang benar-benar diterima oleh pegawai swasta lebih kecil karena adanya potongan pajak. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan dan diskusi di kalangan masyarakat, khususnya terkait asas keadilan dalam sistem perpajakan nasional.

 

 

Contoh Kasus Perhitungan Pajak THR

Untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang mekanisme pemotongan pajak THR, mari kita telaah contoh kasus berikut. Tuan A merupakan karyawan tetap di PT BBB dengan gaji yang diterima sebesar Rp10.000.000 setiap bulan dan memiliki status pajak K/1 (menikah dengan 1 tanggungan). Pada bulan April, Tuan A menerima THR sebesar satu bulan gaji yaitu Rp10.000.000. Bagaimana perhitungan pajak THR untuk Tuan A?

Langkah pertama adalah menentukan kategori Tarif Efektif Rata-rata (TER) berdasarkan status PTKP. Dengan status K/1, Tuan A masuk dalam kategori TER B. Selanjutnya, perlu dihitung total penghasilan bruto dalam bulan tersebut, yaitu gaji Rp10.000.000 ditambah THR Rp10.000.000, sehingga total penghasilan bruto adalah Rp20.000.000.

Merujuk pada tabel Tarif Efektif Bulanan (TERB) kategori B, untuk penghasilan bruto Rp20.000.000, tarif TER yang berlaku adalah 9%. Dengan demikian, pajak THR yang harus dibayarkan adalah:

Total penghasilan bruto: Rp20.000.000

Tarif TER: 9%

PPh 21 TER: Rp20.000.000 x 9% = Rp1.800.000

Perlu diingat bahwa pajak tersebut adalah pajak atas seluruh penghasilan bruto dalam bulan tersebut, bukan hanya pada THR. Untuk menghitung pajak khusus pada THR, bisa dilakukan dengan cara mengurangi PPh 21 TER dengan pajak atas gaji reguler. Jika tarif TER untuk penghasilan Rp10.000.000 adalah 6%, maka:

Pajak gaji reguler: Rp10.000.000 x 6% = Rp600.000

Pajak THR: Rp1.800.000 - Rp600.000 = Rp1.200.000

Dengan demikian, dari THR sebesar Rp10.000.000, Tuan A akan menerima Rp8.800.000 setelah dipotong pajak. Namun, perlu dicatat bahwa perhitungan ini hanya berlaku untuk bulan di mana THR diterima. Pada akhir tahun pajak, akan dilakukan perhitungan ulang berdasarkan total penghasilan setahun dan tarif progresif sesuai Pasal 17 UU PPh. Jika terdapat kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihannya akan dikembalikan.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa contoh perhitungan di atas hanya berlaku untuk wajib pajak yang memiliki NPWP. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, tarif pajak yang dikenakan akan lebih tinggi, yaitu 120% dari tarif normal yang seharusnya berlaku. Ini menjadi salah satu alasan mengapa memiliki NPWP sangat penting bagi setiap wajib pajak.

Manfaat dan Implikasi Pemotongan Pajak THR

Meskipun pemotongan pajak THR sering kali dipandang sebagai beban oleh banyak karyawan, kebijakan ini sesungguhnya memiliki berbagai manfaat dan implikasi positif, baik bagi individu maupun bagi perekonomian negara secara keseluruhan. Pemotongan pajak THR merupakan bagian dari sistem perpajakan nasional yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dan mendukung pembangunan ekonomi.

Dari perspektif negara, penerimaan pajak, termasuk dari THR, menjadi sumber pendanaan yang penting untuk berbagai program pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Sebagaimana disebutkan dalam data yang diberikan, manfaat penting dari pajak dapat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, subsidi sosial, dan pelayanan kesehatan. Tanpa adanya penerimaan pajak yang memadai, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menyediakan layanan-layanan publik tersebut.

Selain itu, pemotongan pajak THR juga memiliki fungsi pemerataan pendapatan. Sistem pajak progresif yang diterapkan di Indonesia, di mana tarif pajak meningkat seiring dengan peningkatan penghasilan, bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan secara lebih merata. Dengan demikian, mereka yang memiliki penghasilan lebih tinggi akan membayar pajak dengan persentase yang lebih tinggi pula, termasuk dalam konteks THR. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan vertikal dalam perpajakan.

Dari sisi individu, meskipun pemotongan pajak mengurangi jumlah THR yang diterima, tetapi pembayaran pajak merupakan bentuk kontribusi warga negara terhadap pembangunan. Sebagaimana dinyatakan dalam data, membayar pajak THR bukan hanya sekadar suatu hal yang dipatuhi, tetapi juga sebagai salah satu bentuk cinta tanah air dan membangun perekonomian yang semakin maju. Selain itu, dengan adanya fasilitas-fasilitas publik yang dibiayai dari pajak, kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan juga akan meningkat.

Pemotongan pajak THR juga memiliki implikasi terhadap literasi keuangan dan kesadaran perpajakan di masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini, karyawan menjadi lebih sadar tentang aspek perpajakan dalam penghasilan mereka dan pentingnya merencanakan keuangan pribadi dengan mempertimbangkan kewajiban pajak. Hal ini pada gilirannya dapat mendorong pengelolaan keuangan yang lebih bijak dan disiplin.

 

Pertanyaan Umum seputar Pemotongan Pajak THR

Banyak pekerja masih memiliki berbagai pertanyaan terkait pemotongan pajak THR. Berikut adalah beberapa pertanyaan umum beserta jawabannya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang topik ini.

1. Mengapa THR harus dikenakan pajak?

THR merupakan salah satu bentuk penghasilan yang diterima oleh pekerja, dan sebagaimana diatur dalam undang-undang perpajakan, setiap penghasilan, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, merupakan objek pajak penghasilan. Pengenaan pajak terhadap THR bukan bertujuan untuk membebani wajib pajak, melainkan sebagai bentuk kontribusi warga negara terhadap pembangunan nasional. Dana yang terkumpul dari pajak akan digunakan untuk membiayai berbagai program pemerintah yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi masyarakat luas, termasuk wajib pajak sendiri.

2. Apakah semua THR dikenakan pajak?

Tidak semua THR dikenakan pajak. THR hanya akan dikenakan pajak jika jumlah penghasilan tidak teratur yang diterima (termasuk THR) ditambah dengan penghasilan neto setahun melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jika total penghasilan masih berada di bawah PTKP, maka THR yang diterima tidak akan dikenakan pajak.

3. Bagaimana jika saya tidak memiliki NPWP?

Jika Anda tidak memiliki NPWP, tarif pajak yang dikenakan akan lebih tinggi, yaitu 120% dari tarif normal yang seharusnya berlaku. Ini berarti potongan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memiliki NPWP. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi setiap wajib pajak untuk memiliki NPWP.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya