Bolehkah Berkurban untuk Orangtua yang Telah Meninggal, Apa Hukumnya?

Penjelasan hukum berniat kurban saat idul adha untuk orangtua ataupun kerabat yang telah meninggal dunia.

oleh Putry Damayanty diperbarui 23 Apr 2024, 18:30 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2024, 18:30 WIB
Ilustrasi hewan kurban (Istimewa)
Ilustrasi hewan kurban (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ibadah kurban merupakan salah satu ajaran Islam yang sudah berlangsung sejak lama. Qurban dilakukan dengan menyembelih hewan tertentu seperti domba, sapi, atau kambing saat hari raya Idul Adha.

Secara simbolis kurban memiliki makna kemanusiaan yang dalam yaitu bentuk pengajaran kepada umat Muslim tentang pentingnya sikap pengorbanan dan belas kasih terhadap sesama.

Hukum berkurban pada dasarnya adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah SAW hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Namun, apabila kita ingin berkurban untuk orangtua ataupun kerabat yang telah meninggal dunia apakah hal tersebut diperbolehkan dalam syariat Islam? Berikut ulasannya mengutip dari laman NU Online Jateng.

 

Saksikan Video Piihan ini:

Hukum Berkurban

Pasar Hewan Kurban Jelang Idul Adha di New Delhi
Kambing diberi makan di pasar ternak menjelang Idul Adha di New Delhi, India, Selasa, 5 Juli 2022. Umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha, atau "Hari Raya Kurban," yang memperingati kisah Al Quran tentang kesediaan Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. (AP Photo/Altaf Qadri)

Kesunnahan dalam hal berkurban adalah sunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.

Sedangkan kesunnahan ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.

وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ 

“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu”

Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban.

Hukum Kurban untuk Orang yang Telah Wafat

[Fimela] kambing
ilustrasi hewan kurban | pexels.com/@shubhamthakur

Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meninggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا  

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.” 

Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakan untuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan. Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi.

Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih shahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan mazhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya