Puncak Kenikmatan di Surga Menurut Gus Baha, Analoginya Masuk Banget

Gus Baha menggambarkan kenikmatan di surga, begini analogi dari murid kesayangan KH Maimoen Zubair.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Mei 2024, 02:00 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2024, 02:00 WIB
Gus Baha AI
Gus Baha (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dengan tegas menyatakan bahwa di surga ada kenikmatan yang luar biasa.

Untuk menuju nikmat yang dimaksud, Gus Baha menganalogikan dan mengurut nikmat dengan cara bertanya kepada jemaah yang hadir dalam pengajiannya. Analoginya asyik dan masuk banget.

"Kira-kira orang yang berhubungan intim atau yang hubungan biologis, dengan orang yang sedang anaknya sembuh dari koma senangnya senang mana?," tanya Gus Baha kepada jemaahnya, seperti dinukil dari tayangan Youtube @TunHejang.

Sontak seluruh jamaah seperti dikomando menjawab senang yang opsi kedua.

"Senang yang melihat anaknya sembuh dari koma. Senikmat apapun hubungan biologis senang anaknya yang hilang ketemu," tambah murid Mbah Moen ini.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Begini Gambaran Rasa Senang Melihat Wajah Allah SWT

Ilustrasi Surga (SS: YT The Real Moslem)
Ilustrasi Surga (SS: YT The Real Moslem)

Gus Baha kemudian melanjutkan, bahwa bertemu manusia saja senang luar biasa, bagaimana jika kelak akan bertemu dengan Dzat yang selama ini disembah, disebut siang dan malam.

"Nah kalau anak ketemu saja orang sesenang itu apalagi kita di surga ketemu Dzat yang lama kita sembah, yang lama kita rindukan, yang lama kita rindu kemudian ketemu di surga," kata Gus Baha.

"Maka gak ada artinya surga, tanpa melihat Allah subhanahu wa taala. Memang harus dijelaskan secara rohani akhirnya orang ngerti bahwa nikmat tertinggi di surga adalah melihat Allah subhanahu wa taala," tandas Gus Baha.

Menukil muslim.or.id, salah satu ideologi dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban mengimani bahwa kaum mu’minin akan melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia di akhirat nanti, sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allah Ta’ala sewaktu di dunia.

Memandang Wajah Allah SWT di Surga

Ilustrasi Surga (SS: YT Tafakkur Fiddin)
Ilustrasi Surga (SS: YT Tafakkur Fiddin)

Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlus sunnah wal jama’ah di zamannya, menegaskan ideologi Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1].

Imam Ismail bin Yahya al-Muzani berkata[2], “Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…”[3].

Demikian pula Imam Abu Ja’far ath-Thahawi[4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an):

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).

Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala ketahui dan kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata).

Serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)”.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya